Saturday, January 05, 2008

Leluhur Bantik


Seminar dan dialog sehari yang dilangsungkan pada Sabtu 5 Januari 2008 di Restoran Sindang Reret Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, diselenggarakan oleh Ikatan Masyarakat Sulawesi Utara (IMASU), dengan judul “Asal-usul masyarakat Sulawesi Utara ditinjau dari aspek sejarahnya”, menampilkan para pakar Sejarah Sulawesi  Utara, antara lain Pendeta Riung, sejarahwan Sangir Talaud; Drs Hamdy Gagule MSi, sejarahwan Bolaang Mongondou yang juga adalah Rektor Universitas Dumoga; Ibu R Aisa, Mahasiswi S-3 Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia; Prof DR Adri B. Lapian, Benny Matindas, dan Joutje Ariel Koapaha mewakili Sejarahwan Minahasa, sebagai pembanding dari ketiga perwakilan etnis tersebut.

Sejarah Leluhur Bantik
Oleh: Joutje Ariel Koapaha

Sampai sejauh ini masih banyak yang tidak tahu tentang asal-usul dan keberadaan Masyarakat Bantik. Bahkan kebanyakan orang Bantik sendiri mengirah bahwa masyarakat bantik hanya eksis di 11 (sebelas) desa/kelurahan Bantik yang terdapat di Manado, Minahasa, dan Totabuan.  Yang kebetulan ke-11 Desa/Kelurahan Bantik tersebut warga masyarakatnya masih  menggunakan dan memahami bahasa Bantik.  Padahal ini merupakan pemahaman dan pandangan yang sangat keliru.  

Leluhur Masyarakat Bantik awalnya dikenal sebagai puak/rumpun Pondaigi yang mula pertama mendiami tanah Pamaedan (cikal bakal tanah Malesung) pada bagian utara Katulistiwa pulau Sulawesi. Generasi Pondaigi merupakan leluhur cikal bakal Toubantik yang menemukan, memelihara, dan mengawinkan Toar dan Lumimuut (Toada Bo I Lrumimuutu) paska AIR BAH/BAHTERAH NUH.  Yang mana keturunan suami-istri Toar dan Lumimuut ini telah berabad berkembang turun-temurun di wilayah Mandolrang dan pegunungan Wulur Mahatus. Kemudian mereka terpencar dan bertualang secara kelompok-kelompok diberbagai penjuruh bumi Nusantara dan sekitarnya yang akhirnya menjadi nenek moyang dari berbagai etnis masyarakat kepulauan khatulistiwa seperti antara lain:  masyarakat asli Wenang-Manado, sebagian masyarakat asli Minahasa, masyarakat asli Pasan-Ponosakan-Tounsawang, masyarakat asli Bolaang Mongondow, masyarakat Balrudaa-Huntuk di Bintauna, masyarakat Bondik (Banti) di Buol, etnik Bantian (Wantilan)  di Palembang dan Toli-Toli, etnik Bunian di Poso/Palu, suku Kemak di Tim-Tim, suku Bati di Pulau Seram Barat dan Halmahera Utara, etnik Talraodo (TALAUD) di kepulauan Porodisa, Etnik Banti-Singkil (Sikilri) di Ace, suku Banti Amugme di Papua (Jayapura), dan etnik tertentu di Negara Phillipina.  Sejarah membuktikan bahwa cikal bakal leluhur masyarakat Bantik (rumpun Pondaigi) merupakan kaum petualang dan pengembara secara berkelompok dimana di  tanah Malesung ketika mereka tumani/mendiami kawasan pegunungan Wulur Mahatus dan Pontak (Pontaka), mereka  kemudian terpencar dalam 7 (tujuh) kelompok (Na Tahede Su Pitu Tindalren).  Namun dalam pengembaraan masing- masing kelompok tersebut, mereka saling kunjung-mengunjungi dan bahkan  ada beberapa kelompok keluarga bergabung/menyatu kembali membentuk kelompok yang lebih besar.

Ketika salah satu kelompok besar asal Mandolrang (paska tenggelamnya pulau Panimbulran di TALAUD) yang dipimpin oleh Opo Gohung pergi mengembara dan bergabung dengan kelompok leluhur Bantik lainnya (dibawah Pimpinan Opo Mananegehelrangi) di tanah Buol-Tolitoli “pemukiman Lonu”, kelompok ini selanjutnya melahirkan beberapa generasi kerajaan. Yang salah satu rajahnya bernama Sulru Bentuku Si Damopolri (atau warga Buol menyebutnya sebagai Madika Bondik Lro Minu), dimana pada jaman kepemerintahannya kelompok ini selanjutnya terpencar atau tersebar lagi dalam 9 (sembilan) kelompok (Na Tahede Su Siou Tindalren).  Empat (4) kelompok dari 9 (sembilan) grup/kelompok asal pemukiman tertua  “Lonu” (Kabupaten BUOL  sekarang)  diketahui kembali pulang ke Tanah Malesung dan kepulauan Porodisa  (SATAL). Salah seorang putra Madika Bondik Lro Minu (Raja Bantik Lro Minu) yang bernama Pantalrangi atau Bandalrangi yang tertinggal dikompleks gunung keramat Bantik “Lronu-Inawatan-Pogogul” (Kecamatan Bokat sekarang), selanjutnya telah menurunkan dynasti kekuasaan raja-raja Buol yang berkuasa sampai sekarang.  Misalnya Raja Ndubu, Raja Mokoapat, Raja Takuloe, dan Dynasti Turungku (Tulrubu) yang masih eksis sekarang. Sedangkan seorang putra Sulru Bentuku Si Damopolri bernama Budolrangi atau Gumolangit (kakak kandung  Pantalrangi) dibawah pimpinan kelompok Opo Tulragading datang tumani dan membangun pemukiman baru ke-arah utara untuk kemudian diberi nama Huntuk-Balrudaa dan Pegunungan Komasa’n (Bintauna) untuk selanjutnya menurunkan dynasti kekuasaan raja-raja Bolaang Mongondouw seperti antara lain: Punu Makadulru’ (Mokodolrudut), Punu Yayubangkay, Raja Damopolri, Raja Busisi, Raja Makalalo, Raja Mokodompit, Raja Tadohe, Raja Loloda Mokoagouw, dan Raja Jacobus Manoppo.  Eksistensi historis dan geografis penyebaran para leluhur cikal bakal Toubantik merupakan nilai tambah yang strategis didalam memacu peran dan kiprah kemajuan dipelbagai bidang pembangunan yang sedang digalakkan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Namun diabad moderen ini, perkembangan dan eksistensi keturunan masyarakat Toupondaigi  khususnya di tanah Benang (Wenang dahulu merupakan sentral dari pemekaran wilayah Kota Manado sekarang) secara realistis sedang mengalami keterpurukan, ketergusuran, dan ketergilasan yang pada akhirnya akan menjadi “terasing di tanahnya sendiri”.   Bahkan eksistensi budaya dan bahasanya secara nasional sedang menuju pada kepunahan.


*)  Saya mendapat mandat dari Ketua Umum IMASU saat itu, Bapak A. Gordon Mogot, untuk memilih dan mengundang Sdr. A.J. Koapaha berbicara dalam seminar tersebut diatas. Materi yang dibawakan Joutje diatas sangat menarik, dan makin menarik lagi dalam sesi tanya-jawab dimana semua pertanyaan dan tanggapan dijawab Sdr. Koapaha dengan sangat elegan yang mengundang decak kagum seluruh peserta seminar.