Menyusul Ritual yang pertama 26/07/07
dan kedua 24/8/07, Komunitas Spiritual Bantik kembali melakukan ritual
sebagai amanah "Yopo" yang diteruskan oleh Robert
‘Eck’ Mongisidi dan Wilson Rombang dari Malalayang Minahasa, maka ‘Anak
Magenda’ Ratty Supit didampingi ‘Mogandi’ Jeldy Tontey dan ‘Puyun’ Johan
None, Rabu 05/09/07, menjalankan amanah ritual dari Spiritual
lokalitas Bantik. Kembali kelompok ini melaksanakan misinya untuk
berupaya memohon kepada “ Mabu Makanayang “ melalui
“Songingilrang“ kiranya berkenan meredahkan semburan Lumpur panas dari
Lapindo Brantas Inc, di Porong, Sidorarjo, Jawa Timur. Ritual itu
diahiri dengan pembacaan suatu puisi doa yang di tulis oleh Dante sbb :
Bahasa
Steppa Mongolia sudah, Bahasa Jawa Kawi sudah, Bahasa Tora Bantik
sudah. Tiga bahasa kuno yang telah berusia 2000 tahun ini telah memiliki
gramatika, irama dan teatrikal. Indahnya jauh melebihi bahasa-bahasa
sebelumnya seperti Bahasa Moor, Romawi, Jazirah Skandinavia yang patah2
dan sering menimbulkan salah tafsir. Tiga bahasa sesembahan sudah
diperdengarkan oleh anak-anak Bumi kepada Ibundanya, Ibu Pertiwi. Kita
menunggu hasilnya. Manakala Ibu Bumi tidak tersenyum, tersenyumlah
sekarang. Manakala berduka, bersukacitalah sekarang. Karena Porong
bukanlah lantai lumpur, tapi dia adalah tempat persemaian padi,
ubi-ubian, bahkan semerbak wangi kembang-kembang. Anak-anak bumi telah
mempersembahkan nyanyian kasih rindu di padang2, pegunungan2, dilautan,
bahkan di atas tanggul Porong. Itulah nyanyi sunyi persembahan dari hati
yang putus asa, pengharapan dan pilihan harmoni. Anak2 bumi toh
akhirnya kelak akan masuk dan ditelan ibunya sendiri.
Tetapi
selagi ada sisa waktu biarkanlah mereka bermain dipelataran dengan
dikelilingi kembang2, matahari, bulan purnama dan kerlingan bintang2.
Ibuku, anakmu Dante mempersembahkan esai ini kepadamu mengakhiri gejolak
hati anak2 bumi, supaya engkau mengerti bahwa kami mencintaimu. Mungkin
kami telah berbuat kurang pantas kepadamu, tapi yakinlah bahwa itu satu
muslihat kami supaya engkau melirik kami. Jangan dipertautkan benar
kenakalan kami yang kecil ini, karena engkau masih memiliki Alaska,
Gurun Tandus Sahara. Engkau masih punya Armenia, Hindustan bahkan Kutub
Selatan.
Ibuku,
aku telah berada dalam pelukanmu. Tetapi mereka masih hidup dan tidur
berhimpitan di pasar2, rumah indah serta berserakan di jalan2 dengan
hajat yang bangkrut. Hendaknya berilah mereka peluang untuk tidak
bersedih, tidak cemas dan tetap memperoleh embun yang kau hidangkan tiap
pagi.
Ada
seikat bunga dijambanganmu Ibu, ada juga penganan kesukaanmu, juga
minuman, yang aroma wewangian lavender kesukaanmu. Semuanya sesembahan
dari Anak2 Bumi, ya anak2mu sendiri. Berhentilah merajuk Ibuku. Bumi
hanyalah sebuah debu dalam galaksi dan engkau tidak akan bisa merajuki
milyaran debu disekeliling bumimu.
Aku,
Dante, menulis esai ini dengan memakai tangan Arifin Mu’ridin
Panotogomo Waliyullah alias Gusti Panembahan Sosrobahu Hadiningrat untuk
disampaikan kepada ibuku Ibu Bumi Pertiwi.
Pada ritual sebelumnya (24/08/07), Arifin Mu’ridin Panotogomo Waliyullah alias Gusti Panembahan Sosrobahu Hadiningrat membawa
”Sekar Pembayun” (”Sosok” duta dari Selatan) dari Parang Kusumo Yogya
disertai Ibu Dewi Sri dan bergabung dengan ”Anak Magenda” Ratty Supit di
Surabaya menuju Porong. Ritual dimulai jam 14.20 dengan menaburkan
mawar merah (jangan marah), kuning (wisdom) dan putih (kesabaran)
disepanjang jalan di area lumpur dan sambil berdoa, beras disebarkan ke
lautan lumpur.
Kedua
ritual tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ritual awal
Komunitas Spiritual Bantik pada tanggal 26/07/07 di Porong Sidoarjo Jawa
Timur yang dukung oleh 11 ”sasuang/baliang” Bantik yang merupakan
simbol dari 11 desa Bantik di Minahasa-Manado. Mereka yang ikut serta
dari Manado-Minahasa adalah Robert ’Eck’ Mongisidi, Wilson Rombang,
Johan Mongisidi, Amos Mandey, Hengki Donio, Rudi Makasihidi, Ronni
Mopai, Supit Damo, Deki Kapugu, Hengki Lala dan Ronny Mongisidi.
Sedangkan dari Jakarta adalah ’Anak Magenda’ Ratty Supit, ’Mogandi’
Widjojo Soejono, ’Mogandi’ Yeldy Tontey, ’Puyun’ Johan None dan Nadi
’Arifin’ Sutardo. Mayoritas peserta ritual mengenakan jubah hitam, ada
juga yang mengenakan jubah putih, biru dan kuning. Ritual ini dilakukan
pada waktu dini hari di pinggir kolam lumpur saat masyarakat masih
tertidur pulas. ”Kami memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kiranya
berkenan meredakan semburan lumpur ini. Sudah saatnya seluruh masyarakat
kembali saling bahu membahu membangun kembali Sidoarjo dan sekitarnya”
ujar ’Anak Magenda’ Ratty Supit.