Friday, August 16, 2013

Sejarah Anak-Suku BANTIK

Sub-Etnik Bantik saat ini tersebar dan mendiami 11 negeri di Sulawesi Utara, yaitu :  Mahasa (Meras), Molrasa (Molas), Bailrang (Bailang), Talrabang (Talawaan Bantik), Bengkolro (Bengkol), Buha, Sikilri (Singkil), Minanga (sekarang Malalayang), Kalrasei (Kalasei), Tanamon, dan Sumoiti. Penduduk Sulawesi Utara terdiri dari 3(tiga) etnis utama berdasarkan pengelompokan bahasa (www.sulut.go.id) yakni :
  • Suku Minahasa (Tolour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Bantik, Tonsawang, dan Ponosakan).
  • Suku Sangihe dan Talaud (Sangihe Besar, Siau, dan Talaud).
  • Suku Bolaang Mongondow (Mongondow, Bolaang, Bintauna, dan Kaidipang).
Anak-suku Bantik termasuk dalam kelompok Suku Minahasa, namun “Nama Minahasa” sendiri baru muncul pertama kali dalam laporan Residen J.D. Schiersentein, Residen Manado, tanggal 8 Oktober 1789. Dimana pada masa itu telah terjadi pertikaian antara sub-etnik Bantik dan sub-etnik Tombulu. Peristiwa tersebut dikenang oleh sub-etnik yang bertikai sebagai “Perang Tateli”. Sedangkan para paderi Spanyol dan Belanda menyebut Suku Minahasa sebagai "Orang Alifuru", "Orang Pedalaman", atau "Orang Gunung" (Bovenlander).


Toar dan Lumimuut


Sekali peristiwa, tersebutlah tanah “Ponaedan” yang tenggelam diliputi air laut yang melimpah (air bah) sehingga semua penduduknya mati lemas dan jiwa-jiwa (roh) dari orang-orang yang sudah mati itu sebagian menjadi ilah-ilah yang baik dan sebagian lain menjadi setan-setan yang jahat.

Konon seluruh bumi pada waktu itu tenggelam dilanda air bah, hanya pada tanah  Ponaedan itu masih tersisa sebuah tandusan (beting). Diatas tandusan terdapat sebuah batu besar, lalu turunlah seorang Empung yang bernama KADEMA dari “Kalrutuang” (kayangan/surga), berdiri di atas batu besar itu, dengan memegang sebuah alat kesaktian yang berbentuk seperti cambuk, yang dalam bahasa Bantik disebut “Tingkayuan”, lalu Ia memandang kesana-kemari dan sejauh mata memandang, hanyalah dikelilingi laut belaka.

Kemudian Kadema mengangkat cambuk saktinya dengan tangan kanan dan berkata : “Adodou adodou tanah Ponaedan timagongte ada bobodone dumulru kumilra kalrotou te nai age nu pung-pung bo kayu” (yang artinya : Ya tanah Ponaedan telah tenggelam, sekiranya jadilah guntur dan kilat dan mulai timbullah pula tanah yang baru yang ditumbuhi dengan rumput-rumputan kemudian dengan pohon-pohon kayu dari kecil-kecil hingga yang besar-besar, ya rupa-rupa jenis rumput dan kayu). Maka sekejap itu juga gunturpun berbunyi dengan dasyatnya bertubi-tubi diiringi dengan kilat sambung-menyambung, maka berangsur-angsur tanah kering di sekeliling batu itu bertambah-tambah luas, air mulai surut dan rumput-rumputan mulailah bertumbuh, demikian juga dengan kayu-kayuan berjenis-jenis, maka jadilah seperti yang dikatakan oleh Kadema.

Adapun tumbuh-tumbuhan yang bertumbuh pertama-tama di tanah Ponaedan tersebut adalah rumput sukuhu (bataka) diikuti goringo (karimenga) dan lria (goraka), baru kemudian tumbuh-tumbuhan yang lainnya. Oleh sebab itu ke-tiga tanaman tersebut menjadi tumbuhan obat yang mujarab bagi masyarakat Bantik dan umumnya orang Minahasa, karena ke-tiga tumbuhan itulah yang mula-mula bertumbuh ditanah Minahasa, “tanah baru” dari tanah Ponaedan.

Sementara Kadema sedang berdiri diatas batu itu, maka sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang yang menjerit dibawah batu itu, lalu turunlah ia ke tanah, dan batu itu digoleknya sedikit, maka keluarlah seorang laki-laki muda dari bawah batu itu, lalu ia pun menyembah kepada Kadema. Kemudian Kadema berkata kepada laki-laki muda itu : “sekarang engkau dinamai Toada (Toar), sebab engkau kudapati di moada (tandusan)”. Moada dalam bahasa anak suku Bantik berarti tandusan (beting). Lalu tinggallah mereka di “tanah baru” itu dan itulah tanah Malesung atau Minahasa hingga sekarang.

Sekali peristiwa Kadema dan Toada bersepakat membuat sebuah patung dari lumut-lumut dicampur tanah liat dan diberi bertulang kayu, lalu jadilah sebuah patung yang amat elok. Toada memperhatikan patung tersebut dengan perasaan gembira, lalu katanya kepada Kadema : “alangkah baiknya kalau patung ini menjadi manusia”. Sahut Kadema nantilah kubawa patung itu naik ke langit ke keinderaan yang tertinggi menghadap yang Maha Kuasa yaitu Mabu Duata supaya ia diberi nafas kehidupan dan menjadi manusia.
Maka dibawalah oleh Kadema patung itu menghadap Mabu Duata, permohonan Kadema dikabulkan, lalu Kadema kembali ke bumi untuk menemui Toada dengan membawa patung yang telah menjadi seorang perempuan yang amat elok parasnya. Tetapi dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal Toada, patung yang telah menjadi seorang perempuan cantik itu sempat pegang dan ditegur oleh setan-setan yang jahat, namun perempuan itu tidak tahu dan tidak dapat melihat makhluk-makhluk halus tersebut.

Alangkah sukacita Toada melihat perempuan dari patung itu, tetapi tidak lama perempuan itu sakit lalu mati. Toada memanggil Kadema dan oleh Kadema, perempuan itu dibawa lagi ke keinderaan untuk dimintakan agar diberi nafas kembali. Mabu Duata mengabulkan permohonan Kadema dengan nasehat supaya setibanya di bumi haruslah mengambil ujung batang tawaang, dan diusap-usapkan pada tubuh perempuan itu. Setibanya Kadema di bumi, datang lagi setan-setan jahat itu, tetapi mereka tidak berani mendekati perempuan itu, karena Kadema telah mengambil tawaang seperti yang sudah dipesan oleh Mabu Duata kepadanya. Oleh karena itu, sejak dahulu kala masyarakat Bantik sering menggunakan ujung tawaang untuk mengobati orang sakit. Balriang (Wailan) yang mengobati orang sakit, semalam-malaman memegang ujung tawaang, menyebut-nyebut nama Kadema, sambil mengusap-usapkan ujung tawaang ke tubuh orang sakit itu, untuk mengembalikan jiwanya yang telah pergi karena perbuatan dari setan-setan yang jahat.
Perempuan yang asalnya dari patung itu dinamai “Lumimuutu” oleh Kadema, sebab perempuan itu berasal dari lrumu (lumut). Masyarakat Bantik menyebut lumut itu “lrumu” atau “lrumuutu” kemudian lazimnya disebut Lrumimuutu (Lumimuut). Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai layaknya bersaudara dan Kadema menjadi orang tua mereka yang harus didengar segala perintahnya.

Sekali peristiwa berkatalah Kadema kepada Toada dan Lrumimuutu : “pergilah kedua kamu masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri, mengelilingi kemana saja, untuk mencari pasangan (jodoh) kamu sendiri-sendiri. Inilah 2(dua) batang tongkat dan lihat sama panjangnya, ambilah seorang sebuah dan bila kamu masing-masing bertemu dengan seorang yang kamu suka, jadikanlah dia pasangan (jodoh) kamu, haruslah tongkat yang ada pada kamu itu diukurkan pada tongkatnya. Apabila tidak sama panjangnya, ambillah dia menadi pasangan kamu”. Maka diberilah oleh Kadema kepada Toada sebuah tongkat yang dari “tuis” (golobah) dan sebuah tongkat yang dari “asa” diberikannya kepada Lrumimuutu.

Mereka bertigapun berpisahlah dengan perasaan sedih, dan berjalanlah Toada pada jalan yang lain dan Lrumimuutu pada jalan yang lain juga. Dalam kurun waktu lama, bertemulah Toada dan Lrumimuutu, tetapi mereka tidak lagi saling mengenal dan bilamana mereka mengukur tongkat mereka masing-masing seorang pada seorang, ternyata tongkat mereka tidak sama panjangnya. Maka mereka berdua sepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Pada saat itu hadirlah Kadema dan menikahkan mereka berdua. Sesudah itu pulanglah Kadema ke keinderaan. Toada dan Lrumimuutu pada waktu itu tidak mengetahui sebabnya kenapa tongkat Toada telah menjadi lebih panjang dari tongkat Lrumimuutu, karena sebenarnya batang tuis (gelobah) walaupun hari ini dipotong tetapi biasanya ke-esokan hari batang tuis tersebut masih akan bertambah panjang.

Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai suami isteri, dan tinggal di sebuah pondok yang terletak dibawah pohon kayu Singkulrubu. Pada cabang bagian bawah pohon kayu itu, bertengger burung Bahkeke (Wakeke) dan sebelah atasnya burung Manguni. Oleh karena burung Bahkeke dan burung Manguni tinggal bersama-sama dengan Toada dan Lrumimuutu pada pohon kayu Singkulrubu itu, maka semua keturunan Toada dan Lrumimuutu amat percaya kepada burung-burung itu yang memberi alamat baik dan jahat. Burung Bahkeke memberi alamat/tanda pada siang hari dan burung Manguni memberi tanda pada malam hari.

Toada dan Lrumimuutu memperoleh beberapa anak diantaranya bernama Makaduasiou, Makatelrupitu, Makatelrusiou, dan lain-lain. Makin lama Toada dan Lrumimuutu mendapat karunia dengan keturunan yang banyak sekali. Kedua mereka hidup sampai lanjut usia, sehingga mereka dapat melihat akan segala keturunan anak-anaknya, cucu-cucu, cicit-cicit, dan buyut-buyutnya, banyak sekali tak terhitung jumlahnya.
Kemudian Toada dan Lrumiuutu mengumpulkan segala keturunannya yang telah menjadi banyak sekali itu pada suatu tempat yang bernama “Pinatiahen” (artinya: membahagi). Lalu Toada dan Lrumimuutu naik diatas batu besar dan membahagi bahasa, memberi peraturan-peraturan, adat-adat dan pantangan-pantangan, lalu bercerailah mereka itu semua bertumpuk-tumpuk masing-masing pergi ketempat yang disukainya.

Adapun setumpuk orang leluhur kaum Bantik dari garis keturunan Makaduasiou yang terdiri dari beberapa kepala keluarga antara lain : Sumalroto, Lrobogia, Huntuhambi, Sumolrung, Dangkulrang, Lrumimpunu, dan Lrolring, pergi ke suatu tempat yang bernama Mandolrang. Disana mereka bertambah-tambah banyak dan menjadi suatu kaum. Pekerjaan mereka umumnya sebagai petani dan kadang-kadang sebagai nelayan.Dari legenda Toada dan Lrumimuutu inilah anak-suku Bantik mempunyai kepercayaan kepada burung manguni yang memberi tanda, alamat baik atau buruk, mempercayai empung-empung dan merasa takut pada setan-setan yang jahat, serta adat istiadat untuk memberi makan kepada empung-empung di kebun dengan segala penyembahanya dan lain-lain.



Edited : Jeldy Tontey

Sumber :
-Sejarah Anak Suku Bantik, Pdt. M. Kiroh, 1968
-Tuturan turun temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara


(Adapun asalnya Lrumimuutu, yang dikisahkan kembali oleh Joutje A. Koapaha, 2006 sbb. : Kadema bersama Toar ketika sedang menelusuri dan menikmati keindahan alam pesisir pantai tanah Malesung, mereka menemukan sebuah batu berbentuk aneh yang dinamai mereka sebagai “Batutuhe” atau batu nahi’sasuhe yang terdapat diatas gundukan pasir. Bentuk batu dikatakan aneh karena layaknya sepasang pria dan wanita yang sedang melakukan hubungan badan/seks. Dengan cambuk ditangan Kadema kemudian menggaris batu tersebut dengan batang cambuk yang akhirnya batu terbelah/terpisah. Setelah Batutuhe terbelah, ternyata didalamnya terdapat tubuh seorang wanita yang masih hidup terbungkus dengan lumut (Lrumu). Kadema menamai temuan mereka tersebut sebagai Lrumimuutu, karena didapati dalam keadaan terbungkus lumut. Legenda Toar dan Lumimuut banyak keragaman tuturan, peristiwa, pertemuan dan perkawinannya, terutama menyangkut format “anak kawin mama”. Namun berdasarkan tuturan masyarakat Bantik yang valid, tidak dikenal istilah “anak kawin mama” dalam hubungan Toar dan Lumimuut sebagaimana yang sering dijumpai dalam tulisan/tuturan yang lain).

Ke Pulau Panimbulrang, tenggelam, kembali ke Sulawesi Utara

Tiba pada suatu lapisan masa, di negeri Mandolrang yang aman tenteram dengan pemandangaan yang sangat indah, setumpuk dari keturunan Kasimbaha, dan Utahagi keturunan dari Makaduasiou, mendirikan sebuah kampung di dekat pantai. Mereka gemar menjadi orang-orang pelaut dan peladang. Banyak diantara mereka yang mengarungi lautan samudera, mencari penyu dan telur burung maleo di tepi pantai yang sunyi. Acapkali mereka berperang dilautan bebas dengan orang orang yang menjadi musuh mereka, sehingga dari kebiasaan tersebut lahirlah pada mereka pahlawan pahlawan dalam pertempuran dilautan.

Sekali peristiwa adalah seorang pahlawan yang bernama Bantik mengajak banyak orang untuk pergi dan mendiami suatu pulau yang bernama Panimbulrang. Disana tanahnya amat subur serta laut dan pantainya amat indah, kaya dengan rupa rupa bahan makanan dan lain-lain, maka berangkatlah sebagian penduduk kampung dekat pantai itu yang terdiri dari laki laki dan perempuan, tua muda dan anak anak, dipimpin oleh seorang pahlawan yang bernama Bantik, menuju pulau Panimbulrang. Disana mereka mendirikan kampung, mereka hidup  amat senang dan berkembang sangat pesat memenuhi pulau Panimbulrang, mereka menjadi suatu kaum yang besar. Di pulau Panimbulrang inilah mereka untuk pertama kalinya mereka disebut “Kaum Bantik” menurut nama pahlawan yang telah membawa mereka. Disana mereka hidup lama dengan perkembangan perkembangan kebudayaannya. Pulau Panimbulrang terletak disebelah utara pulau Sulawesi, namun sekarang tidak diketahui secara jelas, konon letaknya tidak jauh dari pulau pulau talaud, tetapi banyak juga yang mengatakan bahwa itu adalah suatu pulau yang besar didaerah philipina.

Ternyata kemudian terjadi peristiwa yang tidak dapat dielakan, bencana alam! pulau Panimbulrang tenggelam kedalam laut, penduduknya sebagian besar binasa, hanya sedikit yang luput dari bencana alam tersebut. Sebagian kecil masyarakat yang dapat meluputkan diri secara berkelompok menggunakan perahu perahu besar dikepalai oleh pahlawan pahlawan sbb. :
  • Lrutang Mokosambudu (satu perhau besar), mendarat di suatu tempat yang bernama Miagon, letaknya didekat negeri Kema sekarang.
  • Lrobogia, Maidangkai, Sumalroto, Sigaha dan Mainalro (lima perahu besar) mendarat di Pulrisan, itulah Pulisan sekarang.
  • Gohung, Domosidi dan Kapepehe (tiga perhau besar) mendarat di Mandolrang, itulah Mandolang sekarang, letaknya antara Tanawangko dan Tateli.
  • Tampunu dan Roring (dua perahu besar) mendarat disuatu tempat yang bernama bentenan, yaitu Bentenan sekarang.
  • Manegelrangi (satu perahu besar) mendarat di sebuah teluk yang bernama Tontolri, itulah teluk Toli-Toli sekarang.
Pada waktu itu masing-masing kelompok merasa hanya merekalah yang dapat menyelamatkan diri dari bencana tenggelamnya pulau Panimbulrang. Mereka masing-masing tidak menduga bahwa selain dari mereka, ada juga kelompok kelompok lain yang selamat dan mendarat di masing-masing tempat seperti diatas. Awal mula mereka merasa sedih, sulit dan tidak senang. Mereka merasa sunyi dan terpencil, hanya dikelilingi hutan rimba yang lebat  dan lautan yang sangat luas. Lama kelamaan perasaan tersebut hilang, mereka merasa senang dan tenteram karena telah menjadi lazim dengan situasi lokasi kediaman yang mereka jalani setiap harinya.

Keadaan tiap tiap kelompok yang mendiami 5(lima) lokasi berbeda tersebut, semuanya terletak dipesisir pantai, makin berkembang. Mereka hidup dengan bercocok tanam, berburu, mencari ikan besar, penyu dan telur burung maleo.Pekerjaan yang sangat digemari adalah berperahu dipesisir pantai mencari telur burung maleo, penyu, ikan ikan besar, serta berburu rusa dan babi hutan. Biasanya mereka pergi sekitar sebulan lamanya dan membuat tempat tempat bermalam ditepi pantai yang dalam bahasa bantik disebut “daseng”. Pekerjaan seperti ini dalam bahasa bantik disebut “matambung”. Bilamana perolehan mereka sudah banyak seperti puluhan ekor penyu, ribuan telur burung maleo, daging babi, rusa dan ikan yang telah digarami dan dikeringkan, mereka pulang dan bersenang senang dengan keluarganya, makan minum dengan hasil tanamannya.

Bertahun tahun mereka hidup demikian, sekali peristiwa orang-orang Bantik di Pulrisan yang sedang mengadakan perjalanan “matambung”, bertemu dengan orang-orang Bantik yang tinggal di Mandolrang. Pada waktu bertemu, mereka sama sama menyangka sedang berhadapan dengan musuh, masing-masing menyiapkan diri untuk bertempur, tetapi setelah saling mendekati untuk bertempur, mereka mendengar musuhnya berbicara dalam bahasa yang sama, kemudian saling menanyakan akhirnya mereka berpelukan dengan gembiranya, ternyata mereka sekaum adanya. Mereka saling bertukar informasi keadaan dan tempat masing-masing, dan berjanji akan saling berkunjung. Masing-masing kelompok pulang dengan hati gembira dan menceriterakan kepada kaum keluarga di kampung tentang pertemuan yang sangat menyenangkan. Sejak itu mereka saling berkunjung satu dengan yang lain dengan disertai perasaan sebangsa yang amat dalam. Kelompok Bantik yang di Pulrisan menemukan pula orang-orang Bantik yang tinggal di Miagon, mereka sangat gembira dengan pertemuan tersebut sehingga kemudian hari kelompok Bantik yang tinggal di Miagon berpindah ke Pulrisan.

Orang-orang bantik di Pulrisan, seperti biasanya melakukan pekerjaan “matambung”, mengadakan perjalanan kearah selatan, mereka bertemu dengan orang-orang Bantik yang tinggal di Bentenan. Mereka bersuka-ria karena pertemuan yang tidak disangka itu. Betapa perasaan sebangsa, sekeluarga yang luput dari bencana tenggelamnya pulau Panimbulrang, sangat mempengaruhi mereka. Mereka telah bertemu dan dapat mengetahui bahwa orang-orang Bantik yang mereka ketahui pada masa itu tinggal di tiga tempat yaitu Pulrisan, Bentenan dan Mandolrang, mereka saling berkunjung satu dengan yang lain.

Kemudian tiba pada satu masa, orang-orang Bantik di Pulrisan pergi berkunjung ke Bentenan, yakni kelompok Bantik yg selamat dengan dua perahu besar dipimpin Tampunu dan Roring. Mereka mendapati kampung Bentenan tersebut sudah kosong, tidak berpenghuni, hanya tinggal bekas-bekasnya yang menandakan bahwa penghuninya telah lama pindah tempat. Konon kabarnya mereka pergi kesuatu tempat yang bernama Baruda, tetapi tempat ini tidak ditemukan oleh orang-orang Bantik Pulrisan yang mencari mereka. Berbagai dugaan atas hilangnya orang-orang Bantik di Bentenan, ada yang mengatakan Baruda itu letaknya dekat Bintauna, ada yang mengatakan negeri itu tidak dapat dilihat dengan mata, ada pula yang mengatakan mereka dibawa terbang angin topan yang dalam bahasa bantik disebut “lrimpudusu”. Sedangkan dugaan yang paling mungkin adalah orang-orang Bantik yang tinggal di Bentenan ini, telah masuk jauh ke pedalaman dan mereka inilah yang kemudian menjadi anak-suku Ratahan, sebab bahasa Ratahan mirip dengaan bahasa Bantik. Entahlah mana yang benar!


Edited : Jeldy Tontey

Sumber :
-Sejarah Anak Suku Bantik, Pdt. M. Kiroh, 1968
-Tuturan turun temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara

Thursday, August 15, 2013

Utahagi dan Kasimbaha

Orang Bantik, Asal... dan Legenda (N. Graafland, 1869)
Malalayang (Minanga), merupakan suatu negeri Bantik dengan tata-rumah yang bersifat alifuru, bersifat penyembah berhala, kacau, buas dan kasar. Tetapi memang anda sudah tahu, bahwa orang Bantik paling sulit dikendalikan dari seluruh rakyat di Minahasa, dan mereka masih saja mengikuti berbagai kebiasaan para leluhur mereka dari abad-abad yang gelap, yang bagi daerah Minahasa lainnya telah hilang. Bahwa mereka tidak mudah untuk dipimpin mengikuti susila lain, masih secara jelas dapat dilihat pada raut muka mereka.
Pada seluruh penduduk Minahasa sebenarnya telah sejak lama menghilangkan kebiasaan memelihara rambut panjang bagi kaum pria; hanya kaum lelaki orang Bantik masih saja memeliharanya, dan begitulah mereka mengenakan pakaian yang luar biasa dan selalu dipersenjatai lengkap seakan mereka masih hendak memancung kepala orang. Dan mengenai halnya perkelahian seperti yang mereka lakukan di Minahasa menurut kesaksian beberapa orang, mereka itu tergolong yang paling berani. Bentuk tubuh mereka sudah menunjukkan demikian; mereka biasanya bertubuh lebih kekar, lebih besar, dan pada wajah mereka terdapat sesuatu yang berifat nakal, tidak terdapat pada seluruh penduduk Minahasa, kecuali mugkin pada orang Tondano. Saya kira, apabila rakyat itu sekali kelak telah menganut agama Kristen serta mengenal peradaban, maka di banyak segi terutama dari segi energi, kemauan, mereka akan menonjol.
Asal-usul sebenarnya orang Bantik itu tidak jelas, sama seperti orang-orang Minahasa lainnya. Mereka itu juga mempunyai berbagai legenda dalam hal ini, yang memperkenalkan mereka sebagai bukan satu dengan penduduk lainnya, dan dipihak lain cukup memberikan gambaran bahwa mereka sudah lama berada disini, untuk dalam hal agama dan penyembahan dewa-dewa nyata-nyata dapat memiliki suatu dasar yang sama. Pengertian agamawi orang Bantik berdasarkan cerita penyampaian dari dulu yang kacau, mereka menafsirkan suara dari burung yang sama seperti orang Alifuru; mereka memanggil empung-empung yang sama walau adakalanya dengan nama lain yang berbeda-beda, yang juga terjadi pada orang Alifuru dari berbagai distrik di Minahasa.
Saya mengambil kebebasan untuk mengutip salah satu legenda dari Van Spreeuwenberg sebagai berikut :
Utahagi dan Kasimbaha
Utahagi, seorang puteri dari Lumimuut dan Toar, datang bersama enam dayang-dayang yang cantik, yang adalah kakak-kakaknya ke negeri Mandolang dekat negeri Tateli, dan mereka turun dari kayangan untuk mandi di sumur yang terdapat di tempat itu, airnya bening sekali dan jernih.
Ketika itu di negeri Mandolang, tinggal seorang bernama Kasimbaha, yang lahir dari orang bernama Mainalo dan Linkanbene, yang mana yang pertama itu adalah putera dari Lumimuut dan Toar. Ketika Kasimbaha melihat dayang-dayang itu di udara, ia menganggapnya sebagai burung-burung dara putih, tetapi selanjutnya melihat dengan rasa kagum sekali ketika mereka datang pada sumur itu, dan melepaskan pakaian mereka, bahwa mereka adalah wanita.
Sementara mereka sedang mandi-mandi, maka Kasimbaha mengambil sebuah sumpitan, menyembunyikan diri sedekat mungkin pada sumur itu di dalam hutan, dan dengan sesumpitan itu menghisap selembar pakaian orang dari kayangan itu untuk diperolehnya, pakaian yang memiliki kekuatan dari mereka yang mengenakannya, sehingga mereka dapat terbang. Ketika selesai mandi, masing-masing dayang itu mengenakan pakaian mereka lagi, lalu terbang melayang-layang lagi ke kayangan, tetapi salah satu dari mereka tak dapat menemukan pakaiannya, terpaksa harus tertinggal.
Dan ia adalah Utahagi, yang telah diberi nama sesuai seutas rambut putih, yang tepat bertumbuh di pusaran kepalanya, dan yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Kasimbaha membawanya ke rumahnya, dan menjadikan isterinya. Dari perkawinan itu lahirlah seorang putera bernama Tambaga, yang kemudian kawin dengan Matinipu. Selang beberapa waktu, maka Utahagi menceritakan kepada suaminya mengenai rahasia rambut putih itu yang berada di pusaran kepalanya, bahwa ia memerintahkan suaminya untuk sangat berhati-hati dengan rambut putih itu, sebab jika rambut putih itu lantaran suatu peristiwa terhilang, maka akan terjadi malapetaka menimpa suaminya itu.
Apakah ia tidak percaya akan kata-kata itu, atau apakah ia didorong oleh sesuatu hal, orang tidak mengetahuinya, tetapi pastilah bahwa pada saat ia mencabut rambut dimaksud itu, terjadilah suatu angin ribut yang diselingi guntur serta halilintar, dan ketika cuaca buruk itu telah berlalu, maka Utahagi telah menghilang, telah melayang kembali ke kayangan di atas sana, meninggalkan suami dan puteranya.
Tambaga, lantaran anak ini sekarang kehilangan susu ibunya, maka anak itu menangis terus-menerus, sungguh menyayat perasaan ayahnya itu, dan ketika ia sadar bahwa lambat-laun ia tak dapat memelihara puteranya itu, maka ia memikirkan bermacam-macam jalan untuk juga datang di kayangan. Ia hendak melakukannya dengan memanjat rotan yang menjulang tinggi sampai kayangan, tetapi rotan ini penuh duri. Ketika ia berdiri disana dan memikirkan bagaimana melakukannya, maka datanglah seekor tikus hutan kepadanya, lalu tikus itu mengunggis semua duri rotan itu sehingga ia dapat memanjatnya.
Maka Kasimbaha, beserta puteranya di punggung, memulai perjalanan panjat itu, tetapi ketika mereka sudah berada jauh disana dan seakan mereka berada di antara langit dan bumi melayang-layang, terjadilah suatu angin ribut dari barat, yang membawa mereka kearah matahari, tetapi oleh karena disana panas sekali maka mereka menunggu timbulnya bulan, yang membawa mereka ke kayangan.
Seekor burung kecil menunjukkan kepadanya rumah Utahagi, ia lalu memasukinya, tetapi sudah malam, ia tak dapat melihat semuanya. Seekor kunang-kunang datang kepadanya dan berkata :”saya lihat jika saya tidak membantu anda, maka anda takkan mendapatkan tempat tinggal Utahagi, sebab dirumah ini ada tujuh kamar yang sama semuanya, dihuni oleh tujuh perempuan bersaudara. Tetapi perhatikanlah pintu yang saya akan hinggapi, itulah kamar isterimu.
Setelah mendengar nasihat itu maka segera ia memasuki kamar isterinya dan menyerahkan putera mereka Tambaga kepadanya. Dari isterinya itu ia harus mendengar banyak cacian lantaran semua yang tidak menyenangkan itu dipersalahkan kepadanya.
Kakak lelaki Utahagi, yang juga salah satu Empung, dewa, berkata kepada orang-orang kayangan lainnya; “Bagaimana hal ini sekarang, oleh karena suami adik saya bukanlah Empung, maka ia tidak boleh tinggal disini, maka kami hendak mengujinya dengan memberikan sembilan piring yang ditutupi dihadapannya. Delapan dari piring itu kita berikan nasi dan yang satu lagi diisi dengan bahan lain; jika ia membuka piring terakhir ini maka ia adalah manusia biasa dan bukan Empung”.
Tetapi disinipun seekor lalat membantunya dan memperingatkan untuk memperhatikan jalannya. Lantaran akibatnya ia tidak menyentuh piring kotor itu, maka untuk itu mereka menanggapnya bahwa ia bukanlah seorang manusia, ia diakui sebagai Empung dan tinggal terus di kayangan bersama isterinya. Namun dikemudian hari, ia menyuruh puteranya, Tambaga, turun ke bumi melalui suatu rantai yang panjang, kembali ke Mandolang, tempat kelahirannya.
Tambaga kemudian kawin, memperoleh anak serta cucu-cucu, dan kedua anak itu, Majo dan Birang, orang Bantik menyebutnya sebagai leluhur mereka. Dengan cara begitulah mereka membuat silsilah mereka itu, sehingga mereka itu sebenarnya adalah keturunan dewa-dewa, sama seperti orang Minahasa lainnya.

Sumber Bacaan :
De Minahasa : haar verieden en haar tegenwoordige toestand (Eene bijdrage de Land-en Volkenkunde) Door N. Graafland Roterdam, M. Wyt & Zomen, 1869; Terjemahan : Yoost Kullit, 1987

Kepemimpinan dalam masyarakat Bantik.


Negeri Mandolrang zaman dahulu adalah tempat kediaman masyarakat Bantik yang aman tenteram dan sangat indah, terletak di antara Tateli dan Tanah Wangko, Minahasa, Sulawesi Utara. Di negeri Mandolrang inilah untuk pertama kalinya mereka mengadakan musyawarah (dalam bahasa Bantik disebut “Bakidang”), untuk memilih dan mengangkat pemimpin-pemimpin sebagai berikut :

1.      Gudangne.
Dipilih dari seorang tua, mantan panglima perang, pandai, cerdik dan jujur. Diangkat menjadi pemimpin yang mengatur kesejahteraan masyarakat Bantik.

2.      Potu’o’san.
Dipilih dan ditentukan beberapa orang-tua yang berpengalaman dan bijaksana, sebagai penasehat “Gudangne” dalam hal mengatur masyarakat. Potu’o’san bersama Gudangne juga adalah anggota Bakidang. Bawahan dari Potu’o’san disebut Talrenga.

3.      Mogandi.
Dalam bahasa Bantik artinya panglima perang. Dipilih dari seorang pahlawan, kuat, berani dan perkasa dalam peperangan. Mogandi memimpin pasukan perang yang terdiri dari :
Su’a’lrang Pinatandu, bawahan Mogandi’.
Su’a’lrang, bawahan Su’a’lrang Pinatandu.
Kohote’i’, bawahan Su’a’lrang.

4.      Goguta.
Adalah layaknya lembaga peradilan tinggi yang memutuskan perkara-perkara yang sulit. Anggota Goguta adalah orang tua-tua yang jujur dan cerdas pemikirannya. Bila dijumpai perkara-perkara yang sangat sulit, biasanya Goguta yang diketuai Gudangne berunding dengan Potu’o’san.


Selain pemimpin-pemimpin masyarakat diatas, ada juga pemimpin yang mengatur dan mengepalai suatu urusan. Mereka tidak dipilih, tetapi terangkat sendiri karena memiliki kemampuan dengan bakat-bakat tertentu, yaitu :

·         Lrelre’a’ng
Ahli mendengar dan mengartikan bunyi/suara burung, misalnya burung manguni, bahakeke dll; apakah memberikan tanda baik atau buruk. Lrelre’a’ng mengepalai urusan-urusan tersebut bila diperlukan masyarakat. Cara mendengar dan mengartikan tanda-tanda ini disebut “Matubaga”.

·         Tona’a’sa
Ahli mengepalai masyarakat dalam urusan-urusan tertentu seperti: perburuan, perkebunan, pencarian di laut dan pesisir pantai (dalam bahasa Bantik disebut “Mata’mbung”), dan lain-lain.

·         Balri’a’ng
Seorang yang berbakat dan ahli mengatur upacara-upacara, ibadah, dan juga sering mengobati orang sakit. Mongolra’i’ adalah cara mengobati orang sakit dengan suatu upacara yang sudah diatur sebagaimana lazimnya, Balri’a’ng bertanya kepada E’mpung, memohon agar jiwa si sakit dikembalikan. Balri’a’ng berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti semalam-malaman, sehingga dianggap jiwa Balri’a’ng juga pergi mencari dan meminta kembali jiwa si sakit. Upacara mongolra’i’ ini hilang (berhenti) sekitar tahun 1930.


Edited : Jeldy Tontey
Sumber :
-Sejarah Anak Suku Bantik, Pdt. M. Kiroh, 1968
-Tuturan turun temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara

Berdirinya negeri Minanga (Malalayang) dan Pogidon

Komunitas Bantik di Sulawesi Utara saat ini mendiami kampung-kampung yang tersebar di sebelas lokasi sebagai berikut : Mahasa Maras), Molrasa (Molas), Bailrang, (Bailang), Talrabang (Talawaan Bantik), Bengkolro (Bengkol), Buha, Sikilri (Singkil), Minanga Malalayang), Kalrasei (Kalasei), Tanamon (di Minahasa Selatan), dan Sumoiti (Sumoit) di Bolaang Mongondow.

Sebelum kedatangan bangsa Portugis ± tahun 1570, anak suku Bantik tinggal berpencar di tujuh lokasi berbeda yaitu :
  • Bineheyan (dekat negeri Tomohon), dipimpin oleh seorang Magudang artinya Ketua, yang bernama Humopa.
  • Balatantakan (dekat negeri Kasuratan dan Parepei), yang dipimpin oleh seorang Magudang yang bernama Boyoh.
  • Tumatenden, dipegunungan Kanto, Airmadidi, Tonsea, dipimpin oleh Magudang bernama Angkoro.
  • Muung Maalangen, yaitu dekat negeri Paslaten dan Matani Tomohon, dipimpin oleh Magudang yang bernama Tumpeheng.
  • Bukidi dekat Burudu Diaga, dekat negeri Darunu, dipimpin oleh Magudang yang bernama Mokosoroy. Mereka ini yang kemudian hari mendirikan negeri Talawaan Bantik.
  • Somoit (didaerah Bolmong), dipimpin oleh dua orang Magudang yang bernama Pontosumbirang dan Mahadia. Sebagian dari mereka yang kemudian hari mendirikan negeri Tanamon yang sekarang di daerah Minahasa Selatan.
  • Di Pegunungan Pure (Amurang), dipimpin oleh Magudang Monaga. Pegunungan ini disebut juga Gunung Bantik.
Selanjutnya mereka yang tinggal di Balantakan, Muung Maalangen, Bineheyan dan yang di pegunungan Pure, kembali dan mendiami “Kantang Bantik”, yakni Gunung Bantik yang terletak di dekat Pineleng dan Warembungan. Daerah tersebut dahulunya ditempati oleh nenek moyang mereka, tetapi kemudian ditinggalkan karena adanya penyakit sampar. Segera setelah anak suku Bantik yang berada pada empat lokasi tersebut berkumpul dan tinggal menetap di Gunung Bantik, mereka mengangkat Humaisi menjadi Pemimpin, yang dalam bahasa Bantik disebut “Gudangne”, dan Mamosey diangkat menjadi “Mogandi” (kepala perang) mereka.

Sedangkan anak suku Bantik yang di Bukidi dan Kaho, walaupun tidak ikut pindah ke Gunung Bantik, tetapi mereka mengakui “Gudangne” Humaisi dan “Mogandi” Mamosey sebagai Pemimpin mereka, dan mereka saling mengunjungi satu dengan yang lainnya, baik pada pesta-pesta perkawinan maupun kematian, dan lain-lain.

Minanga (Malalayang) dan Pogidon

Sebagian anak suku Bantik yang tinggal di “Kantang Bantik” (Gunung Bantik) pada masa kepemimpinan “Gudangne” Kasiaha, pergi mendirikan negeri “Minanga” (Malalayang sekarang). Daerah tersebut masih berupa hutan dan belum berpenghuni. Di sepanjang pantai negeri Minanga, mereka menanam semacam pohon kayu yang warna daunnya muda, disebut oleh orang Bantik “Kayu Bulrang” dan lazim disebut orang sekarang ini “Kayu Bulan”. Pohon kayu ini kelihatannya sangat mencolok bila dipandang dari kejauhan, sebab warna daunnya yang kuning muda itu sangat kontras dengan warna pohon-pohon kayu lain yang tumbuh disepanjang pantai Minanga.

Kemudian pada masa “Gudangne” Rombang, sebagian anak-suku Bantik di Gunung Bantik, pergi mendirikan negeri “Pogidon” yang letaknya sebelah selatan muara sungai Tondano, dimana daerah tersebut sama dengan Minanga, awalnya masih berupa hutan dan belum berpenghuni. Adapun pusat perkampungannya didirikan tepatnya di Makorem (bersebelahan dengan Kantor Pos Manado sekarang) dan sekitarnya, dan ditandai dengan penanam 7(tujuh) pohon “Kayu Dondo”.

Di sekeliling negeri Pogidon banyak ditumbuhi semacam pohon kayu yang daunnya lebar-lebar yang disebut “Kayu Benang” (Wenang). Kulit batangnya biasa dipakai oleh orang Bantik untuk mencelup pukat penangkap ikan, supaya kuat dan bertahan lama. Oleh karena itu negeri Pogidon itu disebut juga “Benang” (Wenang).

Antara negeri Pogidon (Benang/Wenang) dan negeri Minanga pada zaman itu tidak ada berpenghuni, hanya hutan belaka dan tempat-tempat perkebunan orang Bantik.

Adapun pohon kayu bulrang yang ditanam oleh mereka yang tinggal di Minanga, adalah sebagai tanda kepada kawan-kawan dan keluarga yang ada di Pogidon, supaya bilamana mereka di Pogidon itu memandang kesana, akan tampak pemandangan indah di tepi pantai, disitulah letaknya negeri Minanga. Biarpun mereka tinggal menetap di dua lokasi yang cukup berjauhan pada waktu itu, tetapi dengan memandang pohon-pohon “kayu bulrang” tersebut, mereka merasa seolah-olah seperti berdekatan saja. Oleh karena itu pula, kadang-kadang orang Bantik di “Minanga” disebut juga “Orang Bantik Kayu Bulrang” oleh orang Bantik yang tinggal di tempat lain.

Selanjutnya Gudangne Rombang berkedudukan di Pogidon, menjadi Pemimpin semua orang Bantik yang menetap di Bukidi, Kaho, Minanga dan Pogidon tentunya, kecuali orang Bantik yang di Somoit, Bolaang Mongondow dan di Tanamon Minahasa Selatan, mereka itu berdiri sendiri jauh terpisah dari orang-orang Bantik lainnya.


Edited: Jeldy Tontey
Sumber:
- Sejarah Anak Suku Bantik oleh Pdt. M. Kiroh, 1968
- Tuturan turun temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara

Pulau Manado Tua, kedatangan Bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda

Pulau Manado Tua yang terletak berhadapan dengan negeri Pogidon dan Minanga, pada zaman itu disebut “Pulau Manadou”, pulau tersebut tidak berpenghuni karena ditinggal oleh orang “mangindanou” yang terkenal sebagai bajak laut. Orang mangindanou yang tinggal di pulau tersebut dinamakan “orang manadou” oleh orang Bantik.
Setelah lama tidak berpenghuni, kemudian datang kesana suku “Babontehu”, jumlahnya hanya sedikit, kurang-lebih 30-40 kepala keluarga, dan oleh orang Bantik disebut juga mereka itu “orang manadou” tapi dari suku Babontehu. Mereka bersahabat dengan orang-orang Bantik yang tinggal di Pogidon dan Minanga.

Pada zaman itu, ± tahun 1570-1606 datang bangsa Portugis berlabuh pulau Manado Tua, selanjutnya bersama orang Manadou, mereka datang ke negeri Pogidon (Wenang) untuk tukar-menukar hasil bumi penduduk negeri Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang). Bangsa Portugis tidak tinggal menetap di Pogidon (Wenang), mereka seringkali datang dan pergi, dan tampak seolah-olah mereka hanya ingin bersahabat.


Setelah bangsa Portugis, datang pula bangsa Spanyol ± tahun 1607-1650 dengan kapal mereka berlabuh dimuka negeri Pogidon. Masuknya Spanyol ke Pogidon menyebabkan bangsa Portugis menjadi jarang datang dan akhirnya tidak pernah muncul kembali.

Orang Spanyol mulai bersahabat dengan orang Bantik, mereka mendirikan pabrik batu-bata dan mendirikan rumah-rumah disekitar negeri Pogidon, yaitu sekeliling Kantor Pos Manado sekarang, dan mengatur perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan.
Awalnya orang Spanyol ini sangat dihormati oleh orang Bantik Pogidon, tetapi lama-kelamaan terlihat siasat mereka ingin menguasai orang-orang Bantik dan para Pemimpinnya. Orang Bantik tidak senang dengan perilaku orang Spanyol ini sehingga timbul permusuhan tetapi tidak sampai terjadi peperangan.

Ternyata orang Spanyol ini tidak disukai juga oleh orang “Minahasa” lainnya, sehingga mereka bermaksud pergi memanggil orang-orang Belanda yang ada di Maluku untuk bersahabat dan memintakan bantuan untuk mengusir orang Spanyol. Dalam perjalan ke Maluku, mereka diantar oleh 2(dua) orang “tonaasa” Bantik yang bernama Samolra dan Sahumanang sebagai penunjuk jalan. Dua orang tonaasa Bantik ini sangat menguasai pencarian laut yang disebut “matambung”, yaitu pencarian yang sarat dengan pertempuran senjata melawan orang-orang Mangindanou, Lolada dan Tobelo, sebagai bajak laut. Samolra dan Sahumanang ini sering pergi sampai ke pulau Batang Dua, didekat Maluku, untuk mencari penyu, ikan dan lain-lain. Mereka sangat paham mengenai jalannya bintang, sebagai pedoman untuk perjalanan dilaut.

Kedatangan Bangsa Belanda
Orang Belanda ± tahun 1658 mendarat di Pogidon dengan kapal-kapal mereka, dan mulai mengusir orang-orang Spanyol. Di Pogidon atau dikenal juga dengan nama “Wenang”, mereka mendirikan rumah-rumah di bekas rumah orang Spanyol.
Sikap orang Belanda dianggap peramah pada waktu itu sehingga kedatangan mereka disenangi oleh penduduk tanah Toada-Lumimuutu, mereka mulai mencampuri urusan penduduk, menolong mengatur mata-pencaharian, menukar barang-barang mereka dengan hasil bumi penduduk, dan dengan kecerdikannya lama-kelamaan mereka mulai berkuasa dan perlahan-lahan tanah Toada-Lumimuutu menjadi jajahan Belanda.
Gelar Gudangne (Pemimpin) diubah menjadi Kepala Balak
Pada tahun 1788, orang Belanda mulai mengganti gelar Gudangne menjadi “Kepala Balak”. Kepala Balak pada waktu itu belum menerima gaji dan belum ada peraturan membayar pajak.
Kepala Balak hanya menerima pemberian-pemberian dari rakyat seperti biasa sejak dulu (diberikan kepada Gudangne) disebut “Habua” yaitu pemberian berupa : padi, jagung, sayur-mayur, hasil buruan, hasil tangkapan ikan dan lain-lain, yang diberikan menurut kerelaan masing-masing kepala keluarga. Demikian juga rumah tinggalnya diselenggarakan oleh rakyat.

Pemerintah Belanda mulai menuntut macam-macam dari rakyat, dan mulailah mereka mengeluarkan berbagai-bagai aturan, dan rakyat disuruh secara paksa untuk menanam kopi. Hal ini tidak disenangi oleh rakyat, maka Kepala Balak pada waktu itu bernama Kapugu yang juga tidak setuju dengan tindakan Belanda tersebut dan mengajak rakyat untuk melawan pemerintah Belanda.

Mereka mengadakan “Bakidang” (musyawarah) dengan seluruh kepala negeri Bantik, dan diputuskan untuk menyerang semua orang Belanda yang di Pogidon (Wenang), untuk itu semua orang Bantik yang mau ikut berontak diambil sumpahnya dengan menyembelih babi.

Rencana tersebut tercium oleh Belanda, dan dengan segera Belanda datang membujuk Kepala Balak Kapugu, lalu menarik segala peraturan dan perintah-perintah yang menimbulkan kemarahan rakyat. Dengan kecerdikan halus Pemerintah Belanda berhasil membujuk Kepala Balak Kapugu dan diasingkan ke Belang, Ratahan, sebab dianggap sangat berbahaya. Sampai pada hari tuanya Kapugu dipulangkan kembali ke negeri asalnya.



Edited : Jeldy Tontey
Sumber :
- Sejarah Anak Suku Bantik oleh Pdt. M. Kiroh, 1968
- Tuturan turun temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara

Saturday, July 06, 2013

Kisah Tentang Matansing

Pada waktu sekelompok leluhur masyarakat Bantik asal Selatan tumani dan bermukim di suatu tempat yang bernama Kaho (selokan Tirang) antara Maumbi dan Kairagi, mereka kemudian pindah ke Pogidon Wenang) dan selanjutnya bergerak kearah Utara, dan tumani di Singkil, Bailang, Buha, dan Bengkol. Dalam kelompok ini, terdapat sepasang suami-istri tanpa memiliki keturunan yang pekerjaannya sehari-hari sebagai Balrian Lramo (Walian besar=tukang mengobati secara tradisional). Suami bernama Tolrombiga dan istrinya bernama Hagi. Keduanya sangat terkenal sebagai ahli pengobatan tradisonal (makatana) apalagi sebagai Biang (bidan yang menunggui dan mengurus kelahiran seorang bayi) yang terkenal di kalangan masyarakat Bantik. Bila ada orang yang datang memanggil Hagi untuk menolong orang melahirkan maka Hagi selalu berkata pada sipemanggil itu: kembalilah lebih dulu dan nanti disusulnya. Tapi anehnya, Biang Hagi akan selalu tiba lebih dulu sebelum sipemanggil tiba dirumah orang yang akan melahirkan itu. Rupanya suami-istri ini mempunyai banyak sahabat sosok halus sebagai penolong dalam menjalankan tugas mereka sebagai Balrian Lramo.

Pada suatu hari, Hagi kelihatan hamil dan datanglah sosok halus kepada Tolrombiga dan meminta agar, bila anaknya lahir agar anak itu diberikan kepada sosok halus tadi untuk dipeliharanya, sang suami tidak keberatan. Setelah genap usia kandungan Hagi, lahirlah laki-laki yang hanya tangisnya saja yang kedengaran tapi bayinya sudah tidak ada lagi, dan mengertilah sang suami bahwa anaknya sudah dijemput sosok halus tadi. Akan hal Hagi bila ada orang bertanya mana anaknya maka Hagi menjawab bahwa ia mengalami keguguran (kinadaen) dan bayinya hilang. Konon bayi itu dipelihara sosok halus dengan diberi makan jantung pisang tanduk (sejenis pisang yang buahnya besar-besar, berbentuk tanduk kerbau) oleh sebab itu jika melihat jantung pisang tersebut, keadaan seperti dicakar-cakar kuku, kata orang karena dicakar sosok halus tadi bila membuat makanan bayi tadi. Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat makhluk halus, carilah pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan tunggulah dibawah pohon itu. Bila sosok halus datang mengambil makananya, niscaya akan bertemu dengan sosok halus, asal berani untuk bertemu menemuinya, apalagi berada dibawah pohon itu dan kedengaranlah tangisan bayi maka pasti akan bertemu dengan sosok halus. Disitulah anda boleh berdialog dengan sosok halus dan boleh memohon atau meminta sesuatu. Sudah tentu sosok halus itu akan mencobai anda lebih dulu setelah anda tahan uji atas cobaan itu barulah pinta anda akan terkabul.

Demikianlah anak itu dipelihara oleh sosok halus sampai menginjak masa remaja umur 18 tahun, lalu dikembalikan kepada ibu-bapanya di Buha dan diberi nama Matansing berasal dari kata Tumansing meloncat tinggi/seperti terbang). Selanjutnya dalam umur 20 tahun, Matansing turut mengambil bagian dalam perang Banten.

Ceritra rakyat tentang Matansing berlangsung pada tahun 1770-an, dimana masyarakat Bantik yang mendiami kawasan Benang (Wenang) dipimpin oleh Kepala Walak Abuthan. Kisah ini terjadi pada jaman kolonialisme Belanda menguasai tanah Minahasa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tatkala kepala balak Bantik Abuthan sedang memimpin kelompok masyarakat Bantik di Wenang, tersiarlah berita bagaimana orang-orang Banten di pulau Jawa mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda.Huru-hara pemberontakan rakyat Banten sangat menggegerkan Batavia yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Riemsdyk. Secara masal rakyat Banten mengangkat senjata dan lakukan serangan atas pos-pos tentara kolonialisme di Batavia. Pemerintahan Riemsdyk terganggu karena tentara Belanda jumlahnya sangat kurang dan tidak dapat mengimbangi perjuangan rakyat Banten. Maka pemerintah Belanda di Batavia menyurat pada koleganya di Ternate dan Minahasa untuk meminta bantuan dari warga masyarakat yang ada di sana. Dijejakilah bantuan dari Ternate dimana di sana juga terdapat sebagian tentara Belanda dan warga setempat dimana mereka diminta datang berkumpul di Pogidon (Wenang) untuk kemudian berangkat bersama ke Pulau Jawa dengan armada laut. Di Minahasa bantuan terutama dikerahkan dari orang-orang Bantik yang berdomisili di Tomohon dan Tondano. Yang di Tondano dipimpin oleh Tonaas Sigaha (Sigar) dan di Tomohon dipimpin oleh Tonaas Dotulong. Kepala balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di wilayah Wenang, segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan melakukan plakat di beberapa negeri orang Bantik yang terdapat di: Titiwungen, Singkil, Bailang, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Molas, Meras, Malalayang, dan Bahu. Mereka bersedia dan menyatakan kerelaan untuk mengambil bagian dalam perang Banten tersebut, yang sebetulnya merupakan siasat kaum penjajah untuk mengadu-domba masyarakat pribumi.

Tersebutlah seorang laki-laki bernama Matansing dari negeri Buha datang menghadap kepala balak Abuthan. Setelah Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan kebolehannya, maka Matansing menjawab: Ia Po ada tumondo Mabukuan galrete be mabei, age nu pai pinakou” (artinya: kalau saya pergi ke medan laga, selalu kembali dengan kemenangan dan membawa bukti atas kemenangan itu). Dengan demikian Matansing salah seorang pendekar Bantik yang akan berangkat ke pulau Jawa untuk turut berperang membantu Belanda dan bantuan dari Ternate, Minahasa dan Bantik telah musta’id semuanya berkumpul di Wenang dan jumlahnya 3000 (tiga ribu) orang pimpinan bala bantuan itu ialah Tonaas Sigar dan Dotulong yang terkenal sangat pemberani. Pengaturan persiapan selesai dan pasuka dipersilahkan naik ke kapal untuk berangkat. Selesai diadakan apel maka berlayarlah kapal-kapal itu dengan haluan pertama pulau Manado Tua, tiga hari dalam pelayaran dan pada hari keempat, anehnya..... kapal-kapal itu kembali berlabuh di pelabuhan Wenang. Setiba di pelabuhan Wenang kepada pasukan ditanyakan oleh nahkoda kapal, siapakah di antaranya melupakan sesuatu di rumahnya. Masing-masing segera berdiri dan mengacungkan tangan sambil mengatakan bahwa sayalah yang melupakan sesuatu itu. Setelah ia melapor untuk pergi sebentar kerumah, waktu itu masih keadaan pagi jam anak-anak pergi sekolah. Gaiblah ia, hilang dari pandangan mata mereka. Patut diakui oleh orang-orang Bantik karena peninggalan riwayat pedangnya pun masih ada di negeri Bengkol pada cucu, cece, cicit, buyutnya pusaka kesaktian membuktikan ini. Beberapa lama antaranya pada jam makan siang hampir tengah hari tiba-tiba bergetarlah kapal yang tadi-tadinya ditumpangi Matansing yang berada di atas kapal, ditangannya terpegang sebuah bungkusan Kumunou (daun woka) dan sebuah Lrimpudong (sosiru) lalu melaporkan pada nahkoda kapal siap sudah ada di tempat, bertanya Kapten Nahkoda Kapal. Apakah yang kau bawa itu? Jawabnya ini ada tempat makan pinang. Yang terbungkus daun woka itu, perangkat empat sirih pinang sebagai biasanya yang dipakai oleh orang Bantik bila akan makan sirih. Keberadaan kembali Matansing di atas kapal, berarti saat keberangkatan sudah tiba. Maka berangkatlah armada Belanda dan bala bantuan itu.

Angin kencang dari belakang menyebabkan layar kapal-kapal itu berkembang dengan megah. Semalam-malaman, siang dan paginya mereka berlayar dan tiba di pelabuhan Donggala pagi hari. Kapal-kapal berlabuh untuk mengambil air minum (air tawar) di darat. Setelah diketahui oleh Matansing bahwa maksud kapal-kapal itu singgah di pelabuhan Donggala hanya karena untuk mengambil air tawar, maka turunlah Matansing melalui tangga kapal dengan membawa nyiru yang dibawanya dari rumah tadi. Dikoyakkannya bagian dalam nyiru itu dan dicelupkannya bagian kaki dalam nyiru ajaib itu yang tinggal lingkaran rotan bagian luarnya saja. Maka terjadilah keanehan di pelabuhan Donggala! Air laut dalam lingkaran rotan itu menjadi air tawar. Ramailah seluruh petugas kapal menimba air tawar untuk mengisi tong pada kapal masing-masing, sesuai kebutuhan dari lingkaran rotan ajaib itu. Pelayaran dilanjutkan beberapa lama, dalam pelayaran masuklah mereka di pelabuhan Serang (Banten) dengan selamat dan berkat.

Pada saat itu pelabuhan Banten bergelora sangat hebatnya sehingga pendaratan dilakukan dengan menggunakan sekoci-sekoci pendarat. Oleh karena di darat telah berjaga-jaga pasukan Banten, maka perang besar tak terelakan lagi. Serta merta perang besar terus berkecamuk dan berkobar sangat hebatnya. Bunyi tembakan, tetakan pedang, baku potong dan baku bunuh sudah tak terkendalikan lagi. Bagian perang yang dahsyat berlangsung antara tahun 1775-1780. Bagaimana dengan Matansing, ia ketinggalan dan masih berada di atas kapal, ia menjadi gelisah, hilir mudik di atas kapal.

Ia segera mengambil keputusan dengan berdiri siap masuk ke mulut meriam kapal. Tatkala meriam berdantum dengan arah tembakan kedarat......... gaiblah pula ia pada saat genting itu. Alkisah menurut cerita ia melayang bersama peluru meriam tadi, terbang dan jatuh di atas mahligani istana tempat bersemayam Raja Banten, sesampai di istana Matansing menjumpai pengawal Raja Banten yaitu tujuh orang laki-laki bermuka sangat menyeramkan mempunyai anting atau bertopeng seperti babi hutan besar, jadi Matansing harus berhadapan lebih dulu dengan para pengawal itu sebelum tiba pada Raja. Pada saat itu melayanglah Matansing ke atas pohon aren dan duduk di atas pelepahnya hingga bergegerlah bumi karena tumbangnya pohon itu. Semuanya lalu menjadi gempar. Dari situ ia melayang ke pohon padi lalu duduk diatas butir buahnya berayun-ayun bersama tiupan angin. Selesai berayun di atas pohon padi itu sambil menyenangkan hatinya, melompatlah ia langsung berhadapan dengan ketujuh pendekar itu dan terjadilah perang satu lawan tujuh dengan seru dan seramnya. Matansing bertarung sambil melayang kian kemari di udara. Konon, pada akhirnya tewaslah ketujuh pengawal Raja tadi, terpisah kepala mereka dari badannya masing-masing.
Matansing segera menuju kepada Raja Banten didapatinya Raja sedang tidur nyenyak di tempat peraduannya. Tatkala Raja membuka mata, alangkah terkejutnya Raja dengan segera Matansing mencabut pedangnya dan tombak diayunkan sekali tepat kena leher Raja. Maka tewaslah Raja pada saat itu juga. Sebagai bukti kemenangan oleh Matansing kumis dan janggutnya serta kuku Raja, dikeratnya dan diambilnya untuk dibawah pulang. Selesai mengambil barang bukti itu, Matansing gaiblah dari kamar peraduan sang Raja itu. Tiba diluarnya dilihatnya ternyata perang telah berakhir.

Laskar Banten kalah dan Belanda menang. Pendekar Sigar diberi pangkat Mayor dan pendekar Dotulong diberi pangkat Letnan-Kolonel lengkap dengan senjata dan pakaian kebesaran. Mereka yang masih hidup kembali ke Wenang setelah menjalankan tugas membantu Belanda berperang dengan Banten. Sebagaimana kita pelajari dari sejarah, bahwa perang Banten itu di kobarkan oleh KYAI TAPA dan Ratu Bagus Buang dan diteruskan oleh Sultan Abdul Nazar, Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780 Adapun cerita Ambon bahwa yang turut berperang dan mengalahkan Raja Banten adalah Kapitan Jongker yang namanya termasyur itu.

Kembali tentang Matansing sesampainya di Wenang ia langsung menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan kemenangannya sambil membawa bukti berupa janggut, kumis, serta kuku Raja yang dikalahnya sebagaimana yang telah diceritakan tadi. Percayalah Abuthan atas kebolehan Matansing, ia dibawa oleh Abuthan menghadap Residen TANROLF. Oleh Residen Tanrolf, Matansing diberi hadiah dan piagam ditulis atas kertas kulit yang berbunyi: selama penjajahan Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari keturunannya bebas dari pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah.

Kemudian Matansing kembali sebagai petani dan berkebun di antara negeri Singkil dan Buha (disuatu tempat yang disebut kelapa lima). Sekali peristiwa datanglah seorang putra Raja Sulawesi Selatan, Bugis bernama anak Raja HASSANUDDIN menumpang kora-kora bersama anak buahnya. Ia datang memamerkan ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya dan ingin mencari lawan, siapa kalangan di Utara Sulawesi ini yang sanggup menandinginya. Untuk menguji kesaktiannya diwujudkan dalam mengadu ayam sabungan. Maka kedatanganlah berita kedatangan tamu-tamu ini kepada Matansing yang segera ingin dengan mengadu ayam sabungan lebih dahulu. Ayam sabungan anak Raja Bugis berbulu hitam berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing berbulu putih sampai kakinya. Persabungan yang seru dimulai dan semua orang Bantik datang menonton.

Begitu serangan kedua ayam sabungan itu bersiaga dan akhirnya…….. menanglah ayam sabungan milik Matansing. Putra Raja dari Sulawesi Selatan berseru: “Ayam sabungannya yang kalah belum tentu orangnya kalah” Matansing naik dan keduanya menyiapkan diri untuk bertarung, duel maut satu lawan satu keduanya bermufakat dan tempat yang akan dijadikan arena laga ialah lembah diantara gunung Bantik dan gunung Tumpa (Tumumpa). Karena keduanya sama saktinya maka duel maut itu banyak berlangsung di udara. Sama hebat, sama cerdik, dan sama jago. Alkisah maka terbanglah Matansing awan gunung Bantik dan putra Raja Bugis terbang pula dari gunung Tumpa, lalu sesaat kemudian duel udara yang serupun berlangsung. Pertarungan babak pertama selelsai karena mereka beristirahat. Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel maut babakan kedua dimulai, Matansing melayang terbang melalui gunung Tumpa dan lawannya sebagai anak panah lepas dari busurnya melayang dari gunung Bantik, Matansing yang melihat musuhnya sangat sukar dikalahkan itu, setiba bertukaran tempat di Tumpa, lalu mengambil tali hutan (”bahahing”) untuk dibuat jerat. Tali buatan itu dilemparkan Matansing ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja itu sekaligus tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan memancung leher musuhnya.

Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan kepalanya yang masih terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah kalah, Matansing mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya di kelapa lima. Disana mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai dengan ditanamkannya di tempat itu lima pohon kelapa, sehingga tempat itu biasa disebut ”kelapa lima”.

Hingga muat riwayat ini ditulis, diantaranya negeri Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing (tempat tersebut disebut kelapa lima) kelapanya memang sudah tidak ada lagi, tetapi tanah dan bekasnya masih ada. Tahun demi tahun berlalu sampai Matansing telah berusia tua, ia mulai jatuh sakit di negeri Buha, tetapi bila ada orang datang menjenguknya, kadangnya tidak diketemukan hanya tempat tidurnya saja. Lama-kelamaan, pada saat mautnya tiba, hilanglah ia entah kemana tak diketahui rimbanya. Ia pergi dan tak seorangpun mengetahuinya. Kata orang, ia kembali ke Kayangan sebagaimana cerita kita pada bagian-bagian lain, seperti kisah negeri Balruda itu. Pedang dan tombak milik Matansing, masih ada di negeri Bantik. Demikianlah riwayat Matansing yang menurut tutur orang ia menjelma menjadi dewa, sedang tutur orang lain ia menjelma menjadi jin atau makhluk halus. Untuk lebih melengkapi riwayat tentang Matansing alangkah baiknya kalau diutarakan pula disini sedikit tentang asal-usul dan siapakah Matansing yang mengemarakan sejarah anak suku Bantik. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha)
 
Edited Jeldy Tontey