*) SEORANG anak muda berusia 24 tahun, bernama Robert Wolter
Mongisidi, mencoba mengisi sisi hidupnya dengan memberi harapan dan
cinta penuh kasih. Bukan hanya kepada keluarganya, tapi juga kepada
musuhnya.
SUDAH jenuh mungkin bagi kita bila membaca kisah heroik kepahlawanan
para tokoh. Ada Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Pattimura, Teuku
Umar atau I Gusti Ngurah Rai. Semua seolah senada seirama menyanyikan
suara patriotisme.
Tulisan ini mencoba mengajak siapapun merasakan perasaan seseorang yang
bernama Wolter Mongisidi. Jiwa patriotik ternyata tak selalu dengan
hingar bingar teriakan “Merdeka!”. Atau letusan bedil yang melumpuhkan
lawan. Tak ada kisah kemenangan perang di sini. Hanya cinta kasih yang
tercium harum semerbak dan bisa mengalahkan segalanya. Menghancurkan
apapun tanpa kekerasan sedikitpun.
SAYANG BOTE
Saya tak tahu harus menyebut apa, ketika saya tahu bahwa mendiang ayah
saya (wafat 1972), Muhammad Ali Kamah, adalah sahabat dekat Mongisidi.
Mendampinginya bersama dalam dekapan penjara. Mengurusi jenazahnya, tapi
tak melihat dia mati mulia dengan ditembak paksa. Ayah saya begitu
sangat menyayangi Mongisidi, yang biasa disapa Bote. Iapun menyimpan
surat-surat terakhir Bote untuk adik-adiknya, hanya beberapa hari
sebelum dia memilih jalan kematian dengan penuh kasih sayang.
Isi surat-surat Mongisidi ditulis sekitar dua hari sebelum dia didor
oleh penguasa Belanda, 5 September 1949. Nafas tulisan surat-suratnya
banyak menghembuskan sebuah pesan yang sangat teguh pada keyakinannnya.
Sebuah teriakan jiwa.
SAYANG TUHAN
Dalam menghadapi kematiannya yang pasti, Mongisidi merasa berat sekali.
Perasaan itu ia kalahkan dengan rasa cintanya yang begitu mendalam pada
Tuhan. Ini terbaca pada warna kalimat yang ditulisnya, baris demi baris,
untuk keluarganya. Kita bisa rasakan perasaannya menyambut maut pada
sepucuk surat untuk adiknya, Opie:
“Adikku Opie, saya kakakmu, tetap sebagai kakakmu hingga saatku terakhir. Belum pernah saya memberi apa-apa yang langsung kepadamu, sebab saya memakai jalan yang lain, yang lebih besar. Apa yang saya bias tinggalkan, hanya rohku saja. Yaitu roh setia hingga terakhir pada Tanah Air dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang tetap”.
Bagaikan seorang penyair, Mongisidi memanfaatkan waktu yang sempit untuk
tetap berharap penuh pada masa depan. Ia menempatkan harapan cinta
kasihnya kepada Tuhan, seperti yang ia tulis untuk adiknya itu.
“…perpisahan duniawi membawa manusia masuk ke pertemuan yang kekal.
Sekalipun begitu, gembira dalam hidup, sebab itupun adalah pemberian
Tuhan Yang Maha Tertinggi di dunia. Jangan takut-takut melihat waktu di
muka, sebab saya, kakakmu sudah turut membersihkan jalan bagi kami
sekalian, bagi engkau juga adikku. Tuhan menyertai keluargamu”.
SAYANG PADA KETEGUHAN
SAYANG PADA KETEGUHAN
“Baru sekali saya melihat seorang pemuda begitu ‘kranig’ (teguh hati)
menghadapi peluru”, kesan seorang opsir Belanda yang terbiasa
menyaksikan serdadu Jepang dihukum mati Belanda di tempat itu.
Detik-detik menjelang eksekusi, Mongisidi memamerkan keteguhannya. Ia
tak mau matanya ditutup. Sorot matanya menatap tajam 12 mulut pucuk
senapan yang akan merengut nyawanya. Jemari tangannya merangkul erat
Bibel di dadanya.
Mongisidi mengukir dengan indah rangkaian kalimat yang membentangkan
perasaannya. Perasaan akan kematian dan hikmah doa keluarga untuknya.
Dalam sepucuk surat untuk pamannya, Tontey, Mongisidi menulis:
“Adapun doa yang oleh penghantaran ayah sendiri untuk keselamatan
jiwaku, adalah banyak memberi sumbangan dalam hal meneguhkan iman.
Betapa luhur sembahyang untuk saya itu, sesungguhnya saya telah rasai.
Jasa sekalian yang turut berdoa untuk aku dan mereka yang dengan cara
apapun telah menyumbangkan pertolongan, langsung atau tidak langsung
padaku, adalah suatu hal sebenarnya harus saya bentangkan panjang
lebar.”
Keteguhan hatinya pada kebenaran, membuat dia naik pitam ketika ayahnya
berusaha meminta grasi untuk meringankan hukumannya. Baginya, dia tak
melakukan kesalahan apapun, baik moral ataupun hukum. Ini bentuk wujud
cintanya pada negerinya.
SAYANG TANAH AIR
Bagai sebuah gunung, keyakinan Mongisidi sulit bergeser sedikitpun dari
suatu keyakinan. Tak ada kata mundur. Sampai saat-saat terakhir ia tetap
percaya pada kemenangan perjuangan bangsanya. Sebelum ia dihabisi 12
algojo jago tembak, ia sempat menulis di secarik kertas kecil, “Setia hingga terakhir didalam keyakinan”.
Ketika dia dihukum mati, kenyataannya Indonesia sudah merdeka. Namun
banyak wilayah di Indonesia Timur, umumnya masih dalam genggaman
Belanda, yang datang kembali ikut pasukan Sekutu. Coba baca surat
pendeknya, kepada kakaknya, Jan:
“…air mata kamu yang jatuh karena mengingat padaku, itupun korban Tanah Air.
Perasaan kesediaan kamu sekalian, itupun korban Tanah Air. Saya
sendiri telah relakan dairiku menjadi korban dengan keinsyafan memenuhi
kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang. … Pengertian Tanah
Air Indonesia buat saya sendiri hampir-hampir saja sebagai suatu wujud
yang berbentuk nyata sekali. Saya penuh percaya bahwa berkorban untuk
Tanar Air mendekati pengenalan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Kekuatan imannya menghadapi perjuangan, cita-cita dan kematian itu,
terlihat lebih nyata pada rangkangian kalimat yang ditulis kepada
adiknya Marie:
“Adikku Marie, apa-apa yang kelihatan di mata, tidak bisa saya
tinggalkan bagimu, Marie. Hanya ini yang saya boleh sebut di sini,
jangan takut melihat waktu yang akin datang. Saya telah turut
membersihkan jalan-jalan bagi kamu sekalian, bagi adik-adik, walaupun
tenagaku belum semua dikeluarkan”.
Mongisidi tak ingin melewat sedikitpun untuk menyayangi waktu. Dia
banyak belajar bahasa asing mengisi kekosongan waktu menjelang ajal.
Pada adiknya itu dia berpesan:
“Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan, supaya kepercayaan pada
diri sendiri tetap ada. Pun dengan kepercayaan teguh kepada Tuhan jangan
ditinggalkan. Kasih Tuhan mengatasi segala kesulitan. Tetapi bila habis
ikhtiar, maka kekuatan batin adalah pertahanan keimanan yang kuat.
Kalau engkau jatuh 9 kali, bangunlah 10 kali, tetapi bila tidak bangun
ke 10 kalinya, berusaha berdiri…”
SAYANG ILMU
Bagi Mongisidi, ilmu pengetahuan bagaikan sesuatu yang harus dicintai.
Jiwanya masih membara panas ketika jelang menghadapi maut. Dia muda
belia dan seorang pelajar. Kawan-kawannya merasa jengkel, bila dia
bertandang ke tempat mereka. Lemari buku akan dibongkar dan diacak
mencari buku-buku bahan bacaan baru yang dia ingini. Dahaganya tak
terpuaskan pada pengetahuan, bahkan jelang akhir hayatnya. Ranselnya
penuh berisi catatan dan buku-buku bacaan.
“Saya bangga sekali apabila Corrie mendapat kemajuan terus dibangku
sekolah. Dan saya percaya bahwa Corrie mendapat kemajuan ini juga
walapun di dalam pergaulan di rumah atau di sekolah”, tulis
Mongisidi pada adiknya, Corrie. Hal yang sama dia sampaikan juga kepada
Robby, adiknya. Dia menceritakan bahwa saat mendekati ajal, Mongisidi
sedang menyusun kamus!
“Nanti Robby lihat dikertas-kertas, bahwa saya sedang berusaha
menyusun kamus Indonesia - Inggris, Prancis dan lain-lain cabang ilmu.
Hal dan keadaan yang menanti di mukaku, kurang saya pentingkan”.
SAYANG MUSUH
Kekejaman atau kekerasan tidak selamanya dibalas dengan kekerasan.
Sebuah sikap ksatria diperlihatkan Mongisidi beberapa detik sebelum
ditembak mati. Ia berjalan mendekati anggota polisi militer Belanda yang
hendak melakukan tugasnya.
“Saya memaafkan dan mengampuni kesalahan tuan-tuan. Tuan-tuan tidak
bersalah pada saya. Tuan hanya orang-orang yang menerima perintahan
atasan dan melakukan tugas tuan-tuan”
Ketika kuburnya digali setelah sekitar 30 jam Mongsidi ditembak,
ternyata dari 12 senapan yang siap menembus dadanya, hanya 8 peluru
mengenai sasaran. Ada beberapa algojo yang tak tega membunuhnya.
Mongisidi terkenal dan tertangkap sebagai seorang pemimpin pemberontak
di mata penguasa Belanda. Namun tidak pernah terucap dari mulutnya bahwa
Belanda adalah musuhnya. “Musuh saya adalah penjajahan dan penindasan”,
ujarnya. Ia selalu mengingatkan adik-adiknya akan hal ini. “Kalau ada
teman kita yang bersalah-paham dengan kita, janganlah diberitahukan
kepada orang lain keburukan teman itu”, tulisnya kepada adiknya Robby
yang biasa dia sapa Tomo.
SAYANG KELUARGA
Cinta
kasih Mongisidi begitu membara ketika ia sadar hidupnya hanya dalam
hitungan hari. Ia punya adik yang harus disayangi. Punya ayah ibu yang
dikasihi. Punya sahabat, kenalan yang dicintai. Sebagai tumpuan
keluarga, harapan itu lenyap bersama kematiannya.
“Saya yang begitu cinta akan kamu sekalian, akan negeriku, akan
bangsaku, akan seluruh Tanah Airku, hanya dapat meninggalkan roh cinta
tanah air dan iman kepada Tuhan”, tulis Mongisidi kepada kakaknya, Tang serta keluarganya.
Puncak percobaan terhadap pertahanan iman dan keyakinannya, ketika
membuat kata-kata perpisahan untuk ayahnya. Pada kata-kata yang sedang
mengeluarkan jeritan pedih hatinya, ia berusaha memberi hiburan. Bukan
untuknya, tapi untuk ayahnya dan juga ibunya.
“Sengaja saya tidak sebut-sebut dari hal ibuku. Jangalah perpisahan
ini dengan menyebut ibu, menjadi lebih berat buat ayah dan lain-lain
saudara”, tulisnya yang mengharukan.
Memang janji untuk tidak melibatkan ibunya dalam kematiannya, ia tepati.
Dalam surat-surat yang ia tulis, ayah saya tidak menemukan satupun
surat untuk ibunya, kecuali menyinggungnya dalam surat untuk ayahnya
itu.
Saya beruntung bisa berkomunikasi dengan beberapa adik-adik Mongisidi
melalui surat beberapa tahun lampau. Terbaca dari surat-surat mereka,
yang tetap merasakan kasih sayang Mongsidi kepada keluarganya, sahabat
dan Tanah Airnya, yang amat dia sayangi hingga dibawa mati.
Bagi saya pribadi, sosoknya yang mati muda, mungkin sama seperti
kematian aktor James Dean. Muda, enerjik, ganteng, disenangi orang
karena memberi warna yang berbeda pada arti sebuah kehidupan.
Mongisidi muncul sebagai seorang pahlawan negeri ini, bukan karena
keberaniannya berperang secara fisik melawan musuh. Dia dihargai karena
kasih sayangnya kepada siapapun, termasuk kepada musuhnya.
Robert Wolter Mongisidi yang lahir tahun 1925, memang pantas berulang tahun di Hari Kasih Sayang. (*)
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/1310/mongisidi_my_hero_valentine_