Wednesday, September 05, 2012

Robert Wolter Mongisidi

"Setia hingga terakhir di dalam keyakinan!"

Robert Wolter Mongisidi (RWM), pemuda Minahasa dari anak suku Bantik, dilahirkan di desa Malalayang, 14 Februari 1925. RWM atau "Bote" sapaan akrabnya adalah anak dari Petrus Mongisidi seorang petani, ketiga dari 8 bersaudara.
Tamat HIS Bote melanjutkan ke MULO frater sampai kelas 2, karena pada tahun 1942 tentara Jepang menyerbu dan menduduki wilayah Indonesia. Bote akhirnya memutuskan untuk memasuki sekolah guru dan diangkat menjadi guru bahasa Jepang di Liwutung, Sulawesi Utara, pada usia 17 tahun!.
Tugas menjadi guru tidak lama karena keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, Bote meninggalkan kampung halaman menuju Makasar. Perjalanan ke Makasar ditempuh Bote dengan berjalan kaki ke Luwuk sambil mengunjungi kakaknya yang kedua Jan Mongisidi pada waktu itu tinggal disana, dari Luwuk, Bote melanjutkan perjalanan ke Makasar dengan kapal laut. Di Makasar Bote masuk Sekolah Menengah Nasional.

Perlawanan Rakyat.
Setelah pendudukan Jepang berakhir, Belanda kembali mendaratkan pasukannya yang terkenal, Serdadu KNIL dibawah pimpinan Westerling, langsung mengambil alih tangsi Mariso yang sebelumnya ditempati Jepang. Rakyat Sulawesi menjadi marah terutama para pemudanya yang tidak mau dijajah kembali. Bentrokan terjadi disana-sini, para pejuang Sulawesi berusaha mengusir penjajah. Para murid dan guru Sekolah Menengah Nasional beramai-ramai menyebarkan plakat mengajak seluruh rakyat bangkit melawan penjajah. Bote dan kawan-kawan dalam organisasi Angkutan Muda Pelajar menyusun siasat untuk merebut tempat-tempat yang dikuasai Belanda seperti Gedung Radio Makasar, Stasiun Radio Matoangin, Kamp Mariso dan Kantor NICA. Terjadi pertempuran sengit tanggal 27 Oktober 1945 dikota Makasar untuk merebut tempat-tempat penting diatas. Belanda tidak tinggal diam dan menyerbu Markas Besar Perlawanan Rakyat di Jongaya, sarang para pejuang rakyat. Karena kalah persenjataan, Markas Jongaya dapat dikuasai musuh, Sekolah Menengah Nasional ditutup, Bote dan kawan-kawan menyingkir keluar kota dan mengadakan perang gerilya.

Untuk menggalang kekuatan, Bote dan kawan-kawan lalu menuju ke Polombangkeng, markas penjuang yang dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo. Ditempat inilah mereka, 16 organisasi perjuangan rakyat bergabung menjadi satu dengan nama LAPRIS (Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi), Raggong Daeng Romo sebagai panglima, Makaraeng Daeng Jaro sebagai kepala staf, dan Bote sebagai Sekertaris Jenderal ditugaskan memimpin pertempuran melawan Belanda. Perlawanan rakyat semakin gencar, rumah-rumah musuh diserbu, patroli serdadu dicegat, kendaraan, senjata dan amunisi disita. Bote sebagai pemimpin pertempuran sering bertindak nekad, karena perawakannya mirip 'Sinyo Belanda' Bote sering menyamar sebagai polisi militer melakukan patroli di kota melucuti serdadu, merampas banyak senjata dan amunisi. Belanda menjadi tidak aman, nama Wolter Mongisidi makin ditakuti, sampai-sampai Belanda mengadakan sayembara untuk menangkap 'Bote' hidup atau mati.

Belanda mengerahkan serdadu KNIL dibawah pimpinan Westerling, sering bertindak kejam, bengis dan melakukan pembersihan membabi-buta membunuh rakyat, 40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan terbunuh, rakyat makin marah. Para penjuang walaupun makin sempit ruang geraknya namun semangat tidak pernah padam! Lebih baik mati dari pada menyerah. Pada bulan Februari 1947 terjadi pertempuran hebat di Gunung Langgese, Polombangkeng, pasukan pemberontak mengalami kerugian besar, panglima pasukan Ranggong Daeng Romo tewas dalam pertempuran tsb, pasukan pemberontak semakin terjepit, satu demi satu gugur dlm pertempuran membela tanah air.

WOLTER DITANGKAP.
Setelah pertempuran di Polombangkeng, Bote kembali melakukan perang gerilya, masuk kota menghajar musuh. Sayang tidak lama kemudian Bote yang sedang berada dirumah seorang guru Sekolah Menengah Nasional, dapat ditangkap Belanda yang memang sudah lama mengintai dengan penjagaan ketat rumah tersebut.

Mengetahui keberanian Bote yang luar biasa, Belanda tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bote dibujuk, akan diberikan beasiswa untuk sekolah di Belanda dan jabatan yang tinggi, asal mau bekerjasama, namun Robert Wolter Mongisidi tidak luntur keyakinannya dan dengan tegas menolak tawaran tersebut. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan 17 Agustus 1945 harus dipertahankan, Merdeka atau Mati! Belanda menjadi marah atas keteguhan hatinya, Bote dijebloskan kedalam penjara, namun 'harimau' ganas dikurung dalam kerangkeng, dengan kelihaian dan keberanian yang luar biasa Bote dapat meloloskan diri, lepas dari kandangnya, Belanda makin ketakutan.

Sayang sekali hanya 9 hari melakukan perang gerilya melawan musuh, Bote dapat ditangkap kembali dalam sebuah penggerebekan dirumah seorang pejuang di kampung Maricaya. Belanda merasa lega, pejuang paling ditakuti dapat ditangkap kembali, penjagaan khusus untuk Bote dan sangat ketat! Ketika menjadi saksi bagi kawan-kawan pejuang yang akan diadili, Bote tampil dengan kedua tangannya dirantai. Didepan pengadilan dengan tegas Bote berkata : Mereka tidak bersalah, saya yang bertanggung jawab, karena saya yang memerintahkan mereka untuk perang melawan musuh, kalau tuan-tuan mau menghukum, hukumlah saya.

DIHUKUM MATI.
Karena Bote tidak mau diajak kerjasama, Belanda lalu mencari alasan dakwaan untuk menghukum mati, dan tanggal 26 Maret 1949, Bote mendapat giliran untuk diadili oleh pengadilan Belanda dengan tuduhan sebagai pengacau, perampok, pembunuh dan tuduhan buruk lainnya. Bote tetap tenang, tabah, tidak takut atau menyesal sedikitpun! Saya menolak tuduhan sebagai perampok, juga bukan pembunuh. Kalau saya menyerang dan membunuh karena mereka adalah penjajah, saya berjuang membelah tanah air! Tegas Bote didepan sidang pengadilan. Pengadilan Belanda akhirnya menjatuhkan hukuman mati! Bote tidak gentar, dan sudah menduga akan dihabisi Belanda. Sewaktu surat keputusan hukuman mati disodorkan, Bote dengan tenang menandatangani berita acara keputusan tersebut, tidak mengajukan grasi ataupun keringanan hukuman, Bote rela mati demi sebuah kemerdekaan!

Tanpa sepengetahuan Bote, ayahnya mencoba mengajukan grasi, barisan pemuda, pejuang, dan laskar wanita Sulawesi Selatan meminta Belanda untuk meringankan hukuman, bahkan Kongres Wanita yang berlangsung di Jogyakarta juga mendesak Belanda agar membatalkan hukuman tersebut, namun Belanda tetap pada putusannya Robert Wolter Mongisidi harus dihukum mati! Dari dalam penjara, Bote sempat menulis surat kepada Saudara-saudaranya dan para sahabat, antara lain berbunyi : Kalau saya mati, janganlah ditangisi. Saya ikhlas menjadi tumbal untuk membela negara dan menegakkan kemerdekaan. Sudah sewajarnya seorang pejuang gugur dimedan perang. Selain itu janganlah kita membenci Belanda karena orangnya, tetapi karena watak dan nafsu angkara murkanya yang ingin menjajah bangsa lain.

Permintaan terakhir Bote sebelum eksekusi adalah ditembak setelah meneriakan pekik perjuangan "MERDEKA!", menolak untuk ditutup matanya, Bote kemudian menyalami regu tembak satu-persatu sambil berkata : laksanakanlah tugas tuan-tuan dengan baik, tembak saya dengan tepat! Dengan Kitab Injil ditangan kiri dan tangan kanan mengepal bulat sambil meneriakan pekik perjuangan : MERDEKA!, lalu serentetan suara letusan senjata terdengar. Tanggal 5 September 1949, 56 tahun yang lalu, Robert Wolter Mongisidi terkapar rebah kebumi, gugur sebagai kusuma bangsa!

Ketika jenazah diserahkan kepada keluarga, ditemukan secarik kertas tulisan tangan Bote terselip didalam Kitab Injil yang dipegangnya, berbunyi : "SETIA HINGGA TERAKHIR DIDALAM KEYAKINAN!". Seorang serdadu KNIL, sersan mayor Belanda, yang biasa mengurus jenazah orang-orang yang ditembak mati, berkata : sudah berkali-kali saya menyaksikan orang-orang hendak ditembak mati, termasuk orang Jepang sekalipun, namun baru sekali ini saya melihat seorang pemuda yang begitu tegar menghadapi peluru!
Robert Wolter Mongisidi, gugur sebagai pahlawan bangsa pada usia yang masih sangat muda, 24 tahun!