Friday, August 24, 2007

Spiritual Lokalitas Bantik Jalankan Ritual

Menyusul Ritual yang pertama 26/07/07 dan kedua 24/8/07, Komunitas Spiritual Bantik kembali melakukan ritual sebagai amanah "Yopo" yang diteruskan oleh Robert ‘Eck’ Mongisidi dan Wilson Rombang dari Malalayang Minahasa, maka ‘Anak Magenda’ Ratty Supit didampingi ‘Mogandi’ Jeldy Tontey dan ‘Puyun’ Johan None, Rabu 05/09/07, menjalankan amanah ritual dari Spiritual lokalitas Bantik. Kembali kelompok ini melaksanakan misinya untuk berupaya memohon kepada “ Mabu Makanayang “ melalui “Songingilrang“ kiranya berkenan meredahkan semburan Lumpur panas dari Lapindo Brantas Inc, di Porong, Sidorarjo, Jawa Timur. Ritual itu diahiri dengan pembacaan suatu puisi doa yang di tulis oleh Dante sbb :

Bahasa Steppa Mongolia sudah, Bahasa Jawa Kawi sudah, Bahasa Tora Bantik sudah. Tiga bahasa kuno yang telah berusia 2000 tahun ini telah memiliki gramatika, irama dan teatrikal. Indahnya jauh melebihi bahasa-bahasa sebelumnya seperti Bahasa Moor, Romawi, Jazirah Skandinavia yang patah2 dan sering menimbulkan salah tafsir. Tiga bahasa sesembahan sudah diperdengarkan oleh anak-anak Bumi kepada Ibundanya, Ibu Pertiwi. Kita menunggu hasilnya. Manakala Ibu Bumi tidak tersenyum, tersenyumlah sekarang. Manakala berduka, bersukacitalah sekarang. Karena Porong bukanlah lantai lumpur, tapi dia adalah tempat persemaian padi, ubi-ubian, bahkan semerbak wangi kembang-kembang. Anak-anak bumi telah mempersembahkan nyanyian kasih rindu di padang2, pegunungan2, dilautan, bahkan di atas tanggul Porong. Itulah nyanyi sunyi persembahan dari hati yang putus asa, pengharapan dan pilihan harmoni. Anak2 bumi toh akhirnya kelak akan masuk dan ditelan ibunya sendiri.
Tetapi selagi ada sisa waktu biarkanlah mereka bermain dipelataran dengan dikelilingi kembang2, matahari, bulan purnama dan kerlingan bintang2. Ibuku, anakmu Dante mempersembahkan esai ini kepadamu mengakhiri gejolak hati anak2 bumi, supaya engkau mengerti bahwa kami mencintaimu. Mungkin kami telah berbuat kurang pantas kepadamu, tapi yakinlah bahwa itu satu muslihat kami supaya engkau melirik kami. Jangan dipertautkan benar kenakalan kami yang kecil ini, karena engkau masih memiliki Alaska, Gurun Tandus Sahara. Engkau masih punya Armenia, Hindustan bahkan Kutub Selatan.
Ibuku, aku telah berada dalam pelukanmu. Tetapi mereka masih hidup dan tidur berhimpitan di pasar2, rumah indah serta berserakan di jalan2 dengan hajat yang bangkrut. Hendaknya berilah mereka peluang untuk tidak bersedih, tidak cemas dan tetap memperoleh embun yang kau hidangkan tiap pagi.
Ada seikat bunga dijambanganmu Ibu, ada juga penganan kesukaanmu, juga minuman, yang aroma wewangian lavender kesukaanmu. Semuanya sesembahan dari Anak2 Bumi, ya anak2mu sendiri. Berhentilah merajuk Ibuku. Bumi hanyalah sebuah debu dalam galaksi dan engkau tidak akan bisa merajuki milyaran debu disekeliling bumimu.
Aku, Dante, menulis esai ini dengan memakai tangan Arifin Mu’ridin Panotogomo Waliyullah alias Gusti Panembahan Sosrobahu Hadiningrat untuk disampaikan kepada ibuku Ibu Bumi Pertiwi.

Pada ritual sebelumnya (24/08/07), Arifin Mu’ridin Panotogomo Waliyullah alias Gusti Panembahan Sosrobahu Hadiningrat membawa ”Sekar Pembayun” (”Sosok” duta dari Selatan) dari Parang Kusumo Yogya disertai Ibu Dewi Sri dan bergabung dengan ”Anak Magenda” Ratty Supit di Surabaya menuju Porong. Ritual dimulai jam 14.20 dengan menaburkan mawar merah (jangan marah), kuning (wisdom) dan putih (kesabaran) disepanjang jalan di area lumpur dan sambil berdoa, beras disebarkan ke lautan lumpur.
Kedua ritual tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ritual awal Komunitas Spiritual Bantik pada tanggal 26/07/07 di Porong Sidoarjo Jawa Timur yang dukung oleh 11 ”sasuang/baliang” Bantik yang merupakan simbol dari 11 desa Bantik di Minahasa-Manado. Mereka yang ikut serta dari Manado-Minahasa adalah Robert ’Eck’ Mongisidi, Wilson Rombang, Johan Mongisidi, Amos Mandey, Hengki Donio, Rudi Makasihidi, Ronni Mopai, Supit Damo, Deki Kapugu, Hengki Lala dan Ronny Mongisidi. Sedangkan dari Jakarta adalah ’Anak Magenda’ Ratty Supit, ’Mogandi’ Widjojo Soejono, ’Mogandi’ Yeldy Tontey, ’Puyun’ Johan None dan Nadi ’Arifin’ Sutardo. Mayoritas peserta ritual mengenakan jubah hitam, ada juga yang mengenakan jubah putih, biru dan kuning. Ritual ini dilakukan pada waktu dini hari di pinggir kolam lumpur saat masyarakat masih tertidur pulas. ”Kami memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kiranya berkenan meredakan semburan lumpur ini. Sudah saatnya seluruh masyarakat kembali saling bahu membahu membangun kembali Sidoarjo dan sekitarnya” ujar ’Anak Magenda’ Ratty Supit.