Tiba pada suatu lapisan masa,
di negeri Mandolrang yang aman tenteram dengan pemandangaan yang sangat indah, setumpuk
dari keturunan Kasimbaha, dan Utahagi keturunan dari Makaduasiou, mendirikan
sebuah kampung di dekat pantai. Mereka gemar menjadi orang-orang
pelaut dan peladang. Banyak diantara mereka yang mengarungi lautan samudera, mencari
penyu dan telur burung maleo di tepi pantai yang sunyi. Acapkali mereka berperang
dilautan bebas dengan orang orang yang menjadi musuh mereka, sehingga dari kebiasaan
tersebut lahirlah pada mereka pahlawan pahlawan dalam pertempuran dilautan.
Sekali peristiwa adalah seorang pahlawan yang bernama Bantik mengajak banyak orang untuk pergi dan mendiami suatu pulau yang bernama Panimbulrang. Disana tanahnya amat subur serta laut dan pantainya amat indah, kaya dengan rupa rupa bahan makanan dan lain-lain, maka berangkatlah sebagian penduduk kampung dekat pantai itu yang terdiri dari laki laki dan perempuan, tua muda dan anak anak, dipimpin oleh seorang pahlawan yang bernama Bantik, menuju pulau Panimbulrang. Disana mereka mendirikan kampung, mereka hidup amat senang dan berkembang sangat pesat memenuhi pulau Panimbulrang, mereka menjadi suatu kaum yang besar. Di pulau Panimbulrang inilah mereka untuk pertama kalinya mereka disebut “Kaum Bantik” menurut nama pahlawan yang telah membawa mereka. Disana mereka hidup lama dengan perkembangan perkembangan kebudayaannya. Pulau Panimbulrang terletak disebelah utara pulau Sulawesi, namun sekarang tidak diketahui secara jelas, konon letaknya tidak jauh dari pulau pulau talaud, tetapi banyak juga yang mengatakan bahwa itu adalah suatu pulau yang besar didaerah philipina.
Ternyata kemudian terjadi peristiwa yang tidak dapat dielakan, bencana alam! pulau Panimbulrang tenggelam kedalam laut, penduduknya sebagian
besar binasa, hanya sedikit yang luput dari bencana alam tersebut. Sebagian kecil
masyarakat yang dapat meluputkan diri secara berkelompok menggunakan perahu
perahu besar dikepalai oleh pahlawan pahlawan sbb. :
- Lrutang Mokosambudu (satu perhau besar), mendarat di suatu tempat yang bernama Miagon, letaknya didekat negeri Kema sekarang.
- Lrobogia, Maidangkai, Sumalroto, Sigaha dan Mainalro (lima perahu besar) mendarat di Pulrisan, itulah Pulisan sekarang.
- Gohung, Domosidi dan Kapepehe (tiga perhau besar) mendarat di Mandolrang, itulah Mandolang sekarang, letaknya antara Tanawangko dan Tateli.
- Tampunu dan Roring (dua perahu besar) mendarat disuatu tempat yang bernama bentenan, yaitu Bentenan sekarang.
- Manegelrangi (satu perahu besar) mendarat di sebuah teluk yang bernama Tontolri, itulah teluk Toli-Toli sekarang.
Pada waktu itu masing-masing
kelompok merasa hanya merekalah yang dapat menyelamatkan diri dari bencana
tenggelamnya pulau Panimbulrang. Mereka masing-masing tidak menduga bahwa
selain dari mereka, ada juga kelompok kelompok lain yang selamat dan mendarat
di masing-masing tempat seperti diatas. Awal mula mereka merasa
sedih, sulit dan tidak senang. Mereka merasa sunyi dan terpencil, hanya
dikelilingi hutan rimba yang lebat dan
lautan yang sangat luas. Lama kelamaan perasaan tersebut hilang, mereka merasa
senang dan tenteram karena telah menjadi lazim dengan situasi lokasi kediaman
yang mereka jalani setiap harinya.
Keadaan tiap tiap kelompok
yang mendiami 5(lima) lokasi berbeda tersebut, semuanya terletak dipesisir pantai,
makin berkembang. Mereka hidup dengan bercocok tanam, berburu, mencari ikan
besar, penyu dan telur burung maleo.Pekerjaan yang sangat
digemari adalah berperahu dipesisir pantai mencari telur burung maleo, penyu, ikan
ikan besar, serta berburu rusa dan babi hutan. Biasanya mereka pergi sekitar
sebulan lamanya dan membuat tempat tempat bermalam ditepi pantai yang dalam
bahasa bantik disebut “daseng”. Pekerjaan seperti ini dalam bahasa bantik
disebut “matambung”. Bilamana perolehan mereka sudah banyak seperti puluhan
ekor penyu, ribuan telur burung maleo, daging babi, rusa dan ikan yang telah
digarami dan dikeringkan, mereka pulang dan bersenang senang dengan
keluarganya, makan minum dengan hasil tanamannya.
Bertahun tahun mereka hidup
demikian, sekali peristiwa orang-orang Bantik di Pulrisan yang sedang
mengadakan perjalanan “matambung”, bertemu dengan orang-orang Bantik yang tinggal
di Mandolrang. Pada waktu bertemu, mereka sama sama menyangka sedang berhadapan
dengan musuh, masing-masing menyiapkan diri untuk bertempur, tetapi setelah
saling mendekati untuk bertempur, mereka mendengar musuhnya berbicara dalam bahasa
yang sama, kemudian saling menanyakan akhirnya mereka berpelukan dengan
gembiranya, ternyata mereka sekaum adanya. Mereka saling bertukar informasi
keadaan dan tempat masing-masing, dan berjanji akan saling berkunjung. Masing-masing kelompok pulang
dengan hati gembira dan menceriterakan kepada kaum keluarga di kampung tentang
pertemuan yang sangat menyenangkan. Sejak itu mereka saling berkunjung satu
dengan yang lain dengan disertai perasaan sebangsa yang amat dalam. Kelompok Bantik yang di Pulrisan
menemukan pula orang-orang Bantik yang tinggal di Miagon, mereka sangat gembira
dengan pertemuan tersebut sehingga kemudian hari kelompok Bantik yang tinggal
di Miagon berpindah ke Pulrisan.
Orang-orang bantik di Pulrisan,
seperti biasanya melakukan pekerjaan “matambung”, mengadakan perjalanan kearah
selatan, mereka bertemu dengan orang-orang Bantik yang tinggal di Bentenan. Mereka
bersuka-ria karena pertemuan yang tidak disangka itu. Betapa perasaan sebangsa,
sekeluarga yang luput dari bencana tenggelamnya pulau Panimbulrang, sangat
mempengaruhi mereka. Mereka telah bertemu dan dapat mengetahui bahwa
orang-orang Bantik yang mereka ketahui pada masa itu tinggal di tiga tempat
yaitu Pulrisan, Bentenan dan Mandolrang, mereka saling berkunjung satu dengan
yang lain.
Kemudian tiba pada satu masa,
orang-orang Bantik di Pulrisan pergi berkunjung ke Bentenan, yakni kelompok Bantik
yg selamat dengan dua perahu besar dipimpin Tampunu dan Roring. Mereka mendapati
kampung Bentenan tersebut sudah kosong, tidak berpenghuni, hanya tinggal
bekas-bekasnya yang menandakan bahwa penghuninya telah lama pindah tempat. Konon kabarnya mereka pergi
kesuatu tempat yang bernama Baruda, tetapi tempat ini tidak ditemukan oleh
orang-orang Bantik Pulrisan yang mencari mereka. Berbagai dugaan atas hilangnya
orang-orang Bantik di Bentenan, ada yang mengatakan Baruda itu letaknya dekat Bintauna,
ada yang mengatakan negeri itu tidak dapat dilihat dengan mata, ada pula yang
mengatakan mereka dibawa terbang angin topan yang dalam bahasa bantik disebut “lrimpudusu”.
Sedangkan dugaan yang paling mungkin adalah orang-orang Bantik yang tinggal di Bentenan
ini, telah masuk jauh ke pedalaman dan mereka inilah yang kemudian menjadi
anak-suku Ratahan, sebab bahasa Ratahan mirip dengaan bahasa Bantik. Entahlah mana
yang benar!
Edited : Jeldy Tontey
Sumber :
-Sejarah Anak Suku Bantik, Pdt. M. Kiroh, 1968
-Tuturan turun temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara