Thursday, September 02, 2010

Wolter Mongisidi, my Hero Valentine


Iwan Satyanegara Kamah - Jakarta


*) SEORANG anak muda berusia 24 tahun, bernama Robert Wolter Mongisidi, mencoba mengisi sisi hidupnya dengan memberi harapan dan cinta penuh kasih. Bukan hanya kepada keluarganya, tapi juga kepada musuhnya.
 
SUDAH jenuh mungkin bagi kita bila membaca kisah heroik kepahlawanan para tokoh. Ada Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Pattimura, Teuku Umar atau I Gusti Ngurah Rai. Semua seolah senada seirama menyanyikan suara patriotisme.

Tulisan ini mencoba mengajak siapapun merasakan perasaan seseorang yang bernama Wolter Mongisidi. Jiwa patriotik ternyata tak selalu dengan hingar bingar teriakan “Merdeka!”. Atau letusan bedil yang melumpuhkan lawan. Tak ada kisah kemenangan perang di sini. Hanya cinta kasih yang tercium harum semerbak dan bisa mengalahkan segalanya. Menghancurkan apapun tanpa kekerasan sedikitpun.

SAYANG BOTE

Saya tak tahu harus menyebut apa, ketika saya tahu bahwa mendiang ayah saya (wafat 1972), Muhammad Ali Kamah, adalah sahabat dekat Mongisidi. Mendampinginya bersama dalam dekapan penjara. Mengurusi jenazahnya, tapi tak melihat dia mati mulia dengan ditembak paksa. Ayah saya begitu sangat menyayangi Mongisidi, yang biasa disapa Bote. Iapun menyimpan surat-surat terakhir Bote untuk adik-adiknya, hanya beberapa hari sebelum dia memilih jalan kematian dengan penuh kasih sayang.
 
Isi surat-surat Mongisidi ditulis sekitar dua hari sebelum dia didor oleh penguasa Belanda, 5 September 1949. Nafas tulisan surat-suratnya banyak menghembuskan sebuah pesan yang sangat teguh pada keyakinannnya. Sebuah teriakan jiwa.

 
SAYANG TUHAN

Dalam menghadapi kematiannya yang pasti, Mongisidi merasa berat sekali. Perasaan itu ia kalahkan dengan rasa cintanya yang begitu mendalam pada Tuhan. Ini terbaca pada warna kalimat yang ditulisnya, baris demi baris, untuk keluarganya. Kita bisa rasakan perasaannya menyambut maut pada sepucuk surat untuk adiknya, Opie:

“Adikku Opie, saya kakakmu, tetap sebagai kakakmu hingga saatku terakhir. Belum pernah saya memberi apa-apa yang langsung kepadamu, sebab saya memakai jalan yang lain, yang lebih besar. Apa yang saya bias tinggalkan, hanya rohku saja. Yaitu roh setia hingga terakhir pada Tanah Air dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang tetap”.

Bagaikan seorang penyair, Mongisidi memanfaatkan waktu yang sempit untuk tetap berharap penuh pada masa depan. Ia menempatkan harapan cinta kasihnya kepada Tuhan, seperti yang ia tulis untuk adiknya itu.

…perpisahan duniawi membawa manusia masuk ke pertemuan yang kekal. Sekalipun begitu, gembira dalam hidup, sebab itupun adalah pemberian Tuhan Yang Maha Tertinggi di dunia. Jangan takut-takut melihat waktu di muka, sebab saya, kakakmu sudah turut membersihkan jalan bagi kami sekalian, bagi engkau juga adikku. Tuhan menyertai keluargamu”.

 
SAYANG PADA KETEGUHAN

“Baru sekali saya melihat seorang pemuda begitu ‘kranig’ (teguh hati) menghadapi peluru”, kesan seorang opsir Belanda yang terbiasa menyaksikan serdadu Jepang dihukum mati Belanda di tempat itu. Detik-detik menjelang eksekusi, Mongisidi memamerkan keteguhannya. Ia tak mau matanya ditutup. Sorot matanya menatap tajam 12 mulut pucuk senapan yang akan merengut nyawanya. Jemari tangannya merangkul erat Bibel di dadanya.

Mongisidi mengukir dengan indah rangkaian kalimat yang membentangkan perasaannya. Perasaan akan kematian dan hikmah doa keluarga untuknya. Dalam sepucuk surat untuk pamannya, Tontey, Mongisidi menulis:
 
Adapun doa yang oleh penghantaran ayah sendiri untuk keselamatan jiwaku, adalah banyak memberi sumbangan dalam hal meneguhkan iman. Betapa luhur sembahyang untuk saya itu, sesungguhnya saya telah rasai. Jasa sekalian yang turut berdoa untuk aku dan mereka yang dengan cara apapun telah menyumbangkan pertolongan, langsung atau tidak langsung padaku, adalah suatu hal sebenarnya harus saya bentangkan panjang lebar.”
 
Keteguhan hatinya pada kebenaran, membuat dia naik pitam ketika ayahnya berusaha meminta grasi untuk meringankan hukumannya. Baginya, dia tak melakukan kesalahan apapun, baik moral ataupun hukum. Ini bentuk wujud cintanya pada negerinya.

SAYANG TANAH AIR

Bagai sebuah gunung, keyakinan Mongisidi sulit bergeser sedikitpun dari suatu keyakinan. Tak ada kata mundur. Sampai saat-saat terakhir ia tetap percaya pada kemenangan perjuangan bangsanya. Sebelum ia dihabisi 12 algojo jago tembak, ia sempat menulis di secarik kertas kecil, “Setia hingga terakhir didalam keyakinan”.

Ketika dia dihukum mati, kenyataannya Indonesia sudah merdeka. Namun banyak wilayah di Indonesia Timur, umumnya masih dalam genggaman Belanda, yang datang kembali ikut pasukan Sekutu. Coba baca surat pendeknya, kepada kakaknya, Jan:

“…air mata kamu yang jatuh karena mengingat padaku, itupun korban Tanah Air.

Perasaan kesediaan kamu sekalian, itupun korban Tanah Air. Saya sendiri telah relakan dairiku menjadi korban dengan keinsyafan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang. … Pengertian Tanah Air Indonesia buat saya sendiri hampir-hampir saja sebagai suatu wujud yang berbentuk nyata sekali. Saya penuh percaya bahwa berkorban untuk Tanar Air mendekati pengenalan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
 
Kekuatan imannya menghadapi perjuangan, cita-cita dan kematian itu, terlihat lebih nyata pada rangkangian kalimat yang ditulis kepada adiknya Marie:

Adikku Marie, apa-apa yang kelihatan di mata, tidak bisa saya tinggalkan bagimu, Marie. Hanya ini yang saya boleh sebut di sini, jangan takut melihat waktu yang akin datang. Saya telah turut membersihkan jalan-jalan bagi kamu sekalian, bagi adik-adik, walaupun tenagaku belum semua dikeluarkan”.

Mongisidi tak ingin melewat sedikitpun untuk menyayangi waktu. Dia banyak belajar bahasa asing mengisi kekosongan waktu menjelang ajal. Pada adiknya itu dia berpesan:

Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan, supaya kepercayaan pada diri sendiri tetap ada. Pun dengan kepercayaan teguh kepada Tuhan jangan ditinggalkan. Kasih Tuhan mengatasi segala kesulitan. Tetapi bila habis ikhtiar, maka kekuatan batin adalah pertahanan keimanan yang kuat. Kalau engkau jatuh 9 kali, bangunlah 10 kali, tetapi bila tidak bangun ke 10 kalinya, berusaha berdiri…”
 
SAYANG ILMU
 
Bagi Mongisidi, ilmu pengetahuan bagaikan sesuatu yang harus dicintai. Jiwanya masih membara panas ketika jelang menghadapi maut. Dia muda belia dan seorang pelajar. Kawan-kawannya merasa jengkel, bila dia bertandang ke tempat mereka. Lemari buku akan dibongkar dan diacak mencari buku-buku bahan bacaan baru yang dia ingini. Dahaganya tak terpuaskan pada pengetahuan, bahkan jelang akhir hayatnya. Ranselnya penuh berisi catatan dan buku-buku bacaan.

“Saya bangga sekali apabila Corrie mendapat kemajuan terus dibangku sekolah. Dan saya percaya bahwa Corrie mendapat kemajuan ini juga walapun di dalam pergaulan di rumah atau di sekolah”, tulis Mongisidi pada adiknya, Corrie. Hal yang sama dia sampaikan juga kepada Robby, adiknya. Dia menceritakan bahwa saat mendekati ajal, Mongisidi sedang menyusun kamus!
 
“Nanti Robby lihat dikertas-kertas, bahwa saya sedang berusaha menyusun kamus Indonesia - Inggris, Prancis dan lain-lain cabang ilmu. Hal dan keadaan yang menanti di mukaku, kurang saya pentingkan”.

SAYANG MUSUH

Kekejaman atau kekerasan tidak selamanya dibalas dengan kekerasan. Sebuah sikap ksatria diperlihatkan Mongisidi beberapa detik sebelum ditembak mati. Ia berjalan mendekati anggota polisi militer Belanda yang hendak melakukan tugasnya.

Saya memaafkan dan mengampuni kesalahan tuan-tuan. Tuan-tuan tidak bersalah pada saya. Tuan hanya orang-orang yang menerima perintahan atasan dan melakukan tugas tuan-tuan”

Ketika kuburnya digali setelah sekitar 30 jam Mongsidi ditembak, ternyata dari 12 senapan yang siap menembus dadanya, hanya 8 peluru mengenai sasaran. Ada beberapa algojo yang tak tega membunuhnya.

Mongisidi terkenal dan tertangkap sebagai seorang pemimpin pemberontak di mata penguasa Belanda. Namun tidak pernah terucap dari mulutnya bahwa Belanda adalah musuhnya. “Musuh saya adalah penjajahan dan penindasan”, ujarnya. Ia selalu mengingatkan adik-adiknya akan hal ini. “Kalau ada teman kita yang bersalah-paham dengan kita, janganlah diberitahukan kepada orang lain keburukan teman itu”, tulisnya kepada adiknya Robby yang biasa dia sapa Tomo.

SAYANG KELUARGA

Cinta kasih Mongisidi begitu membara ketika ia sadar hidupnya hanya dalam hitungan hari. Ia punya adik yang harus disayangi. Punya ayah ibu yang dikasihi. Punya sahabat, kenalan yang dicintai. Sebagai tumpuan keluarga, harapan itu lenyap bersama kematiannya.

Saya yang begitu cinta akan kamu sekalian, akan negeriku, akan bangsaku, akan seluruh Tanah Airku, hanya dapat meninggalkan roh cinta tanah air dan iman kepada Tuhan”, tulis Mongisidi kepada kakaknya, Tang serta keluarganya.

Puncak percobaan terhadap pertahanan iman dan keyakinannya, ketika membuat kata-kata perpisahan untuk ayahnya. Pada kata-kata yang sedang mengeluarkan jeritan pedih hatinya, ia berusaha memberi hiburan. Bukan untuknya, tapi untuk ayahnya dan juga ibunya.

“Sengaja saya tidak sebut-sebut dari hal ibuku. Jangalah perpisahan ini dengan menyebut ibu, menjadi lebih berat buat ayah dan lain-lain saudara”, tulisnya yang mengharukan.
Memang janji untuk tidak melibatkan ibunya dalam kematiannya, ia tepati. Dalam surat-surat yang ia tulis, ayah saya tidak menemukan satupun surat untuk ibunya, kecuali menyinggungnya dalam surat untuk ayahnya itu.

Saya beruntung bisa berkomunikasi dengan beberapa adik-adik Mongisidi melalui surat beberapa tahun lampau. Terbaca dari surat-surat mereka, yang tetap merasakan kasih sayang Mongsidi kepada keluarganya, sahabat dan Tanah Airnya, yang amat dia sayangi hingga dibawa mati.

Bagi saya pribadi, sosoknya yang mati muda, mungkin sama seperti kematian aktor James Dean. Muda, enerjik, ganteng, disenangi orang karena memberi warna yang berbeda pada arti sebuah kehidupan.

Mongisidi muncul sebagai seorang pahlawan negeri ini, bukan karena keberaniannya berperang secara fisik melawan musuh. Dia dihargai karena kasih sayangnya kepada siapapun, termasuk kepada musuhnya.
 
Robert Wolter Mongisidi yang lahir tahun 1925, memang pantas berulang tahun di Hari Kasih Sayang.  (*)


http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/1310/mongisidi_my_hero_valentine_